🏠Rumah 07: Usaha Mengubah Takdir

11 1 1
                                    

PAGI Ini, aku terbangun dengan semangat baru. Hari ketiga di pengulangan waktu ini, aku bertekad untuk mengubah sesuatu. Semalam, aku berpikir keras hingga hampir tidak tidur. Pikiranku dipenuhi oleh satu hal: bagaimana caranya agar Ibu tidak jatuh sakit. Selama ini, aku menyaksikan bagaimana Ibu perlahan-lahan melemah sejak kejatuhannya di lantai, dan aku sadar, itu adalah awal dari segalanya. Itu adalah momen yang harus kuhentikan.

Hari ini rumah terasa sepi dan sunyi, hanya ada suara angin yang menggerakkan dedaunan di luar jendela. Ayah dan Kak Lili pergi ke rumah pengobatan bersama-sama, mencoba mencari pengobatan untuk Kak Lili yang baru saja tertular COVID. Sementara itu, Kak Muna kembali ke rumahnya bersama suami, dan Kak Maryan juga sudah kembali ke rumahnya bersama istrinya. Kini, hanya ada aku di sini, bersama Ibu yang terbaring lemah di kamarnya.

Aku berjalan perlahan menuju dapur, mempersiapkan sarapan seadanya. Roti tawar dan teh hangat. Aku duduk di meja makan dengan pikiran yang tak tenang. Aku tahu, jika hari ini berakhir sama seperti sebelumnya, maka Ibu akan jatuh sakit dan tidak akan ada lagi waktu untuk mengubahnya. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus menghentikan kejadian ini sebelum terlambat.

Setelah menghabiskan sarapanku, aku bergegas menuju kamar Ibu. Aku membuka pintu perlahan, melihatnya masih tertidur di tempat tidurnya. Wajahnya tampak pucat, dengan napas yang terdengar pelan namun berat. Aku menghela napas, mencoba menenangkan hatiku. Aku harus lebih waspada hari ini.

Aku mulai memeriksa setiap sudut rumah, memastikan tidak ada yang bisa menyebabkan Ibu terpeleset atau terjatuh. Aku mengepel lantai dapur dan ruang tamu, memastikan tidak ada yang licin. Setiap benda yang berpotensi membahayakan kuangkat dan kusimpan di tempat yang aman. Aku bahkan menggulung karpet yang sering bergeser dari tempatnya, memastikan Ibu tidak akan tersandung jika berjalan melaluinya.

Setelah yakin semuanya aman, aku kembali ke kamar Ibu dan duduk di kursi samping tempat tidurnya. Aku memperhatikannya dengan saksama, menunggu dengan perasaan gelisah. Aku tahu kejadian yang membuat Ibu jatuh sakit ada di sekitar waktu ini, tapi aku tidak tahu pasti kapan dan bagaimana. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah waspada dan siap bergerak jika terjadi sesuatu.

Jam berlalu, dan kecemasan semakin menguasai pikiranku. Aku berusaha tetap tenang, tapi bayangan Ibu terjatuh terus menghantuiku. Aku tahu, kalau aku bisa mencegah kejadian itu, aku bisa mengubah segalanya.

Ketika jarum jam mendekati pukul sepuluh pagi, Ibu mulai bergerak. Matanya terbuka perlahan, menatapku dengan pandangan kosong sejenak sebelum tersadar siapa yang ada di sampingnya.

"Melvin ...," bisiknya lemah.

"Ibu, jangan bangun dulu. Biar aku ambilkan air minum dulu, ya," ujarku, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun jantungku berdegup kencang.

Aku bangkit dan mengambil gelas air dari meja samping, membantu Ibu untuk meminumnya sedikit demi sedikit. Dia terlihat lebih baik setelah meneguk beberapa kali, tapi masih sangat lemah.

"Terima kasih, Nak," katanya sambil tersenyum tipis. "Kamu sudah banyak membantu Ibu."

Aku mengangguk, merasa ada sesuatu yang mengganjal di dadaku. "Ibu jangan bergerak terlalu banyak, ya. Biar Melvin yang urus semuanya."

Ibu mengangguk pelan, lalu perlahan-lahan mencoba untuk duduk. Aku segera membantu menahannya, memastikan dia tidak terjatuh atau kehilangan keseimbangan. Dia berhasil duduk dengan posisi yang nyaman, dan aku merasa sedikit lega. Tapi perasaan was-was itu belum hilang.

Sejenak semuanya tampak baik-baik saja. Tapi tiba-tiba, Ibu berusaha bangun untuk ke kamar mandi.

"Melvin, bantu Ibu ke kamar mandi sebentar," pintanya pelan.

Aku merasa panik. Aku tahu, mungkin ini saatnya. Tapi aku tidak bisa menolak permintaan Ibu. Dengan hati-hati, aku membantunya berdiri. Kami melangkah pelan-pelan keluar kamar, melewati koridor menuju kamar mandi. Aku menggenggam lengannya erat, memastikan dia tidak akan terjatuh.

Tiba-tiba, ketika kami hampir sampai, langkah Ibu tersandung. Aku mencoba menopangnya, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Ibu terjatuh ke lantai dengan keras, tubuhnya terhuyung dan menabrak dinding sebelum akhirnya jatuh terlentang di lantai.

"Ibu!" Aku berteriak, berlutut di sampingnya. Tubuhku gemetar, napasku tercekat. Ibu tidak bergerak. Aku meraih wajahnya, mengguncangnya pelan. "Ibu, bangun! Tolong, bangun!"

Napasnya terdengar pelan dan putus-putus. Aku merasa panik, tak tahu harus berbuat apa. Semua usahaku untuk mencegah ini terasa sia-sia. Takdir sepertinya tetap mengambil jalannya, tidak peduli seberapa keras aku mencoba melawannya. Aku tahu aku sudah gagal.

Aku segera mengangkat Ibu kembali ke tempat tidur, meski tubuhku gemetar dan mataku penuh air mata. Aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri. Seharusnya aku bisa melakukan lebih banyak. Seharusnya aku bisa melindunginya. Tapi nyatanya, aku hanya manusia yang terbatas.

Aku duduk di lantai, di samping tempat tidur Ibu, menggenggam tangannya erat-erat. Ada rasa marah, frustasi, dan ketidakberdayaan yang menumpuk di dalam dadaku. Aku tahu aku tidak bisa mengubah takdir ini, dan rasa sakit itu semakin menghujam hatiku. Namun, aku tidak punya pilihan lain kecuali menerima bahwa mungkin inilah yang terbaik. Mungkin inilah jalannya.

Aku hanya bisa berharap, bahwa aku sudah melakukan yang terbaik untuk Ibu. Meskipun aku tahu, usahaku untuk mengubah takdir ini hanyalah sia-sia.

••🏠••

True Story. Penulis harap, dengan menyajikan kisah inspiratif ini, pembaca dapat memetik pembelajaran dalam setiap kata yang ditorehkan. Walau hanya sepenggal.

Ditulis pada:
9 September 2024

[END] Pulang Tanpa IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang