🏠Rumah 16: Rumah tetaplah Rumah

6 2 0
                                    

PAGI itu, hari ketujuh datang dengan keheningan yang menyesakkan. Seharusnya aku masih punya satu hari lagi-satu hari sebelum Ibu pergi, setidaknya menurut "buku" itu. Namun, kenyataan berkata lain. Ibu sudah tiada kemarin, meninggalkan kami tanpa peringatan. Rasa bingung dan kehilangan berputar di dalam kepalaku, seolah dunia yang kugenggam perlahan runtuh tanpa bisa kucegah.

Aku duduk di ruang tamu, memandangi pintu rumah yang terbuka lebar. Orang-orang masih berdatangan, membawa doa dan kesedihan mereka. Namun, semuanya terasa jauh. Suara mereka bagai gumaman samar yang tidak pernah benar-benar sampai ke telingaku. Hanya ada satu suara yang terus berulang di kepalaku-suara Ibu yang perlahan hilang dari ingatanku.

"Tujuh hari sebelum kematian."

Itulah yang tertulis di buku itu. Aku menghitung hari, memastikan bahwa semua itu benar. Hari ini seharusnya masih hari keenam. Tetapi, kenapa Ibu sudah tiada? Apakah aku salah menghitung? Ataukah takdir yang bermain-main denganku, merampas satu hari terakhir yang seharusnya masih kumiliki?

Aku berdiri, langkahku terasa berat. Dari kejauhan, aku melihat Kak Lili dan Kak Muna sedang berbicara di dapur dengan Bibi Sri. Wajah mereka masih menyisakan kesedihan, meski mereka berusaha terlihat tegar. Pikiranku kosong, tapi di dalamnya perasaan terhimpit dan hampa terus membesar. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Buku itu, yang semula menjadi secercah harapan, kini hanya menambah kebingunganku.

"Kenapa, Bu?" gumamku lirih, meski tak ada siapa pun di sekitarku. "Kenapa hari ini ... padahal seharusnya masih ada waktu?"

Langit di luar rumah mulai mendung, seperti mencerminkan suasana hatiku yang penuh dengan kebimbangan dan kesedihan. Rasanya semua yang kupahami tentang waktu dan takdir kini telah porak-poranda.

Aku beranjak menuju kamarku, di mana buku itu masih tergeletak di atas meja. Sampulnya yang lusuh seolah mengejekku. Dengan tangan gemetar, aku membukanya lagi, berharap menemukan penjelasan yang masuk akal. Namun halaman-halamannya tetap sama-tertulis jelas bahwa kematian Ibu seharusnya terjadi di hari ketujuh. Akan tetapi, kenyataan yang kulihat kemarin tak bisa dipungkiri. Ibu telah pergi lebih cepat.

"Apa aku sudah gagal?" tanyaku pada diriku sendiri, seolah buku itu bisa menjawab. Aku memikirkan semua yang kulalui-harapan untuk bisa mengubah sesuatu, keinginan untuk menahan waktu, tetapi pada akhirnya takdir tetap berjalan. Hari keenam telah berlalu, dan Ibu sudah pergi. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya.

Tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Aku harus kembali ke kenyataan. Segala yang kujalani dalam enam hari terakhir ini-semua kegelisahan, ketakutan, harapan-itu semua hanya bagian dari perjalanan yang lebih besar. Takdir memang tak bisa diubah, tapi mungkin ini tentang penerimaan, bukan perlawanan.

Aku menghela napas panjang, mencoba menguatkan diri. Hari ketujuh ini bukan tentang menghentikan kematian, tapi tentang menghadapinya. Hari keenam yang telah kulalui adalah sebuah pelajaran yang keras. Bahwa terkadang, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima. Ibu telah pergi, dan aku harus siap untuk melepaskan.

••🏠••

Sepanjang hari ini, aku memilih untuk menyendiri di dalam kamar. Bukan nggak mau bersosialisasi, hanya saja hari ini, selepas kehilangan Ibu kemarin, pikiran kacau. Terkadang nggak terkontrol.

Aku mendesah pelan. Mataku menatap langit-langit ruangan. Sejenak, pikiranku tiba-tiba terlempar kembali ke buku yang ada di tanganku. Aku membuka halaman demi halaman, mencoba mencari penjelasan yang lebih. Aku tahu ini gila, tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Buku ini yang memberiku harapan, meski kenyataannya justru mengacaukan segalanya.

Aku berhenti di satu halaman yang belum pernah kubaca sebelumnya, satu bagian yang tampak tidak begitu penting. Di sana tertulis:

"Waktu bukan tentang menghentikan kejadian, tapi tentang memahami kapan harus melepaskan."

Jantungku berdebar keras saat membaca kalimat itu. Selama ini, aku terjebak dalam ilusi bahwa aku bisa mengubah sesuatu. Namun, kenyataannya, takdir sudah ditentukan sejak awal. Hari ketujuh ini bukan tentang menghindari kematian, tapi tentang menghadapinya-tentang menerima kenyataan bahwa ada hal-hal di luar kendali kita, dan tidak ada yang bisa dilakukan selain merelakan.

Aku memejamkan mata, membiarkan napas panjang keluar dari dadaku. Mungkin, ini saatnya aku berhenti melawan waktu. Ibu memang sudah pergi, lebih cepat dari yang kubayangkan, tapi bukan berarti aku harus terjebak dalam penyesalan ini selamanya.

Suara lantunan semacam doa terdengar jauh di belakangku. Aku merasakan sesuatu mulai berubah dalam diriku-seperti pintu yang perlahan terbuka, membiarkanku melihat hal-hal dengan lebih jernih. Dunia tidak berakhir dengan kepergian Ibu. Masih ada kehidupan yang harus dijalani, meskipun tanpa beliau di sisiku.

••🏠••

True Story. Penulis harap, dengan menyajikan kisah inspiratif ini, pembaca dapat memetik pembelajaran dalam setiap kata yang ditorehkan. Walau hanya sepenggal.

Ditulis pada:
23 September 2024

[END] Pulang Tanpa IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang