PAGI ini di kelas, suasana tampak sama seperti biasanya-terlihat ramai tapi terasa kosong bagiku. Ruangan dengan dinding krem pucat yang berderet dengan jendela-jendela besar itu dipenuhi oleh suara guru yang sedang mengajar tentang peristiwa sejarah di Indonesia.
Sementara di luar, matahari pagi mulai bersinar terik, menciptakan bayangan panjang dari pepohonan yang melambai di seberang lapangan. Namun, pikiranku mengembara, melayang pada memori masa lalu saat aku masih duduk bersama Ibu di meja makan, membicarakan hal-hal kecil yang hanya berarti bagiku. Walau kenangan itu sudah berlalu selama empat tahun lamanya, tapi masih tercetak kuat di benakku, seakan memiliki ruang tersendiri untuk menyimpan beberapa kenangan bersama ibu. Kata-kata yang guru sampaikan menjadi samar-samar di benakku, bercampur dengan bayangan masa lalu.
Aku menatap kosong ke arah papan tulis, melihat garis-garis hitam spidol yang menggores permukaannya seperti kenangan yang tersisa di pikiranku-fragmen-fragmen yang terus muncul tanpa diundang. Di sudut mata, aku menangkap kilasan Langga yang melirik ke arahku, alisnya terangkat penuh tanya. Ia tahu aku tidak fokus, seperti biasanya. Tapi aku hanya memberi senyum kecil, mengisyaratkan bahwa aku 'baik-baik saja,' meskipun semua orang tahu itu hanya kebohongan kecil yang kuharapkan bisa diterima.
Netraku melirik ke arah jam yang tergantung di atas papan tulis, waktu menunjukkan pukul 10 lebih 15, ini seharusnya bel istirahat sudah berbunyi. Tapi entah kenapa, sampai sekarang suara melengking yang kutunggu itu tak kunjung terdengar.
TEETT!
Akhirnya bel istirahat berdering, seperti dentang yang melepaskanku dari penjara pikiran. Teman-temanku lantas berjalan keluar disusul para murid dari kelas lain yang ikut berhamburan menyerbu para pedagang yang berdiam di area jualan. Suara langkah kaki dan celotehan memenuhi lorong-lorong sekolah, tetapi bagiku itu hanya seperti latar belakang yang samar.
Aku mengajak Langga untuk pergi ke kantin bersama. Aku mengikuti langkah Langga tanpa banyak bicara, meski perutku terasa kosong. Hanya butuh beberapa langkah untuk sampai di sana. Aku dan Langga duduk di meja sudut kantin. Di tengah riuhnya kantin, mataku tiba-tiba saja tertuju pada meja tempat kami biasa duduk bersama-aku, Langga, dan ... Ibu, yang selalu datang saat acara orang tua. Ah, nostalgia itu lagi.
"Mau pesan apa, Fin?" Suara Langga memotong lamunanku.
Aku mengangkat bahu. "Samain aja pesanannya."
Langga menghela napas seolah sudah terbiasa dengan jawabanku yang setengah hati. Aku tahu dia peduli, tapi tak ada kata-kata yang bisa benar-benar menghapus apa yang kurasakan. Aku duduk di salah satu kursi kayu, menyandarkan punggung dan menatap ke jendela, membiarkan pikiran berkeliaran di antara kilasan kenangan yang muncul sekejap-sekejap.
Saat makanan tiba, aku mencoba mengunyah roti bakar dan menyeruput teh manis yang sudah agak dingin. Rasanya hambar, seperti hari-hari yang kulalui belakangan ini. Langga mencoba membuat percakapan tentang pertandingan futsal yang akan datang, berusaha mencairkan suasana, tapi pikiranku masih terjebak di masa lalu, tempat di mana segalanya terasa lebih utuh.
••🏠••
Hari ini aku pulang sekolah lebih awal dari biasanya. Entah karena alasan mengapa aku pulang cepat, aku tidak mengetahuinya. Langit mendung menggantung rendah, dan aku merasa ada beban yang lebih berat dari sekadar hujan yang sebentar lagi turun. Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi untuk cepat sampai ke rumah. Begitu sampai di rumah, suara keheningan menyambutku, menggema di seluruh ruangan seperti jeritan yang tertahan.
Aku membuka pintu, lantas menutupnya pelan dan menatap sekeliling. Rumah ini adalah kuburan kenangan; setiap sudutnya menyimpan jejak-jejak masa lalu yang seolah menunggu untuk ditemukan lagi. Aku langsung menuju kamar, berusaha menghilangkan rasa penat dan sesak yang tiba-tiba menyelimuti dadaku. Kamar ini tidak banyak berubah sejak ibu pergi. Semua barang-barang masih tertata rapi di tempatnya, termasuk rak buku kayu tua di sudut ruangan. Rak itu, dengan debu yang mulai menumpuk, memancarkan aroma kayu lembap yang samar-aroma yang selalu mengingatkanku pada ibu. Tanpa sadar, langkahku membawaku mendekati rak tersebut. Jari-jariku menyusuri buku-buku yang berjajar, merasakan ketenangan aneh yang muncul saat menyentuh benda-benda ini, seakan tiap halaman menyimpan serpihan kecil dari masa lalu yang sudah lama berlalu.
Di antara buku-buku yang pernah kubaca bersama ibu, ada satu buku yang menarik perhatianku. Sebuah buku tua dengan sampul cokelat lusuh, sudut-sudutnya terkikis, dan beberapa lembarannya terlihat mulai robek. Buku ini tampak berbeda-seolah-olah ia telah menanti selama bertahun-tahun untuk ditemukan. Jemariku dengan hati-hati meraih buku itu dari rak, dan saat aku menyentuhnya, ada perasaan aneh yang merayap di punggungku, semacam kehangatan yang tak terduga, bercampur dengan rasa rindu yang menyakitkan.
Aku membuka halaman pertamanya. Tinta yang mulai pudar, tulisan tangan ibu yang rapi, dan beberapa gambar kecil yang menggambarkan bunga matahari dan bunga-bunga liar, serta pemandangan hutan. Aku terdiam sejenak, mengingat bagaimana ibu pernah bercerita bahwa buku ini adalah bagian dari koleksi pribadinya yang paling berharga. Aku tidak ingat pernah melihat buku ini sebelumnya. Mungkin dulu, aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri tanpa memperhatikan hal-hal kecil seperti ini.
Halaman demi halaman kulewati, setiap kata yang tertulis seakan berbicara padaku, membawa kembali kenangan saat ibu membacakannya dengan suaranya yang lembut. Namun, di tengah-tengah buku, aku menemukan sesuatu yang aneh-lipatan kertas yang sudah tua, diselipkan di antara halaman-halaman yang penuh dengan coretan tangan ibu. Lipatan itu sudah kuning dan kaku, tampak seperti sesuatu yang sudah lama tidak disentuh. Aku membukanya perlahan, seakan takut melenyapkan serpihan waktu yang terkandung di dalamnya.
Dan saat aku membukanya, di sanalah aku menemukannya-beberapa baris tulisan tangan ibu yang tergesa-gesa, seakan dia menuliskannya dalam keadaan mendesak. Kata-kata itu, meski sederhana, seolah menggantung di udara, penuh dengan makna yang belum terungkap.
"Ketika waktu tidak bisa diulang, harapan menjadi satu-satunya pengikat. Tapi, jika waktu bisa diubah, apa yang akan kau lakukan, Nak?"
Kalimat itu menghantamku seperti petir di tengah kegelapan. Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kubaca. Apa maksud ibu dengan ini? Dan mengapa buku ini begitu tersembunyi, apa sangat rahasia?
Mataku terpaku pada kalimat itu, benakku dipenuhi dengan seribu pertanyaan. Di saat yang sama, aku merasakan denyut hangat di dadaku, sebuah dorongan untuk mencari tahu lebih banyak. Kenangan akan ibu yang mencoba menyampaikan sesuatu yang belum aku mengerti. Mungkin, ini adalah jembatan yang akan membawaku kembali ke masa lalu, atau setidaknya, memberiku jawaban atas pertanyaan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Aku harus melakukannya.
••🏠••
True Story. Penulis harap, dengan menyajikan kisah inspiratif ini, pembaca dapat memetik pembelajaran dalam setiap kata yang ditorehkan. Walau hanya sepenggal.
Ditulis pada:
2 September 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Pulang Tanpa Ibu
Fiksi Remaja🏆Juara 2 dalam event novelet bertema "Rumah" yang diadakan oleh penerbit prospec media. 🏠True Story. Bagi Melvin Aditaza, rumah tak lagi berarti tempat berlindung. Sejak kepergian ibunya, setiap sudut terasa sunyi, setiap kenangan terasa menyaki...