🏠Rumah 09: Kehilangan Rumah Ternyaman

16 1 0
                                    

PAGI datang seperti biasanya, namun terasa lebih kelam dan berat dari sebelumnya. Sinar matahari menerobos jendela kamar, menghangatkan ruangan yang sepi. Aku duduk di samping ranjang Ibu, menatap wajahnya yang tenang, seolah-olah sedang tidur pulas. Namun, ini bukanlah tidur biasa. Ibu tidak bergerak sama sekali, tidak ada gerakan kelopak mata, hanya dengkuran halus yang konstan. Tanpa alat bantu medis, infus, atau tabung oksigen, Ibu terbaring seolah waktu berhenti untuknya.

Perasaan putus asa menghantamku seperti ombak besar. Aku tahu apa artinya ini. Ketika aku membuka buku itu, aku berharap bisa mengubah segalanya--mencegah kepergiannya. Tapi sekarang, menyaksikan Ibu yang tertidur seperti ini, aku menyadari bahwa harapan itu perlahan memudar. Hatiku menjerit, namun aku tidak bisa melakukan apa pun.

Aku meraih tangan Ibu yang hangat, tetapi seakan jauh di sana, seperti dia tidak benar-benar di sini. Suatu perasaan kosong merayapi dadaku. Dalam hati kecilku, aku tahu bahwa ini adalah awal dari akhir. Waktu terus berjalan, dan setiap detiknya terasa seperti pasir yang perlahan habis di dalam jam pasir. Ibu tidak akan bangun lagi, tidak sampai ajal menjemputnya.

Dari luar, terdengar suara kendaraan yang berhenti di halaman rumah. Aku yakin pasti itu Ayat dan Kak Lili. Mereka telah tiba di rumah setelah perjalanan panjang dari rumah terapi. Mereka tampak kelelahan, terutama Kak Lili yang baru pulih dari sakitnya. Ayah langsung menuju kamar Ibu, dan ketika melihatnya terbaring seperti itu, wajahnya langsung pucat. Dia menatapku, seolah meminta penjelasan.

"Apa yang terjadi, Melvin?" Suara Ayah terdengar serak dan penuh kekhawatiran.

Aku hanya menggeleng, kata-kata tersangkut di tenggorokan. Bagaimana mungkin aku menjelaskan sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak pahami sepenuhnya?

"Ibu ... Ibu seperti ini sejak subuh tadi," jawabku akhirnya dengan suara bergetar.

Ayah mendekati ranjang dan menggenggam tangan Ibu, merasakan denyut nadinya yang masih normal. Namun, tidak ada respons dari Ibu. Hanya dengkuran halus yang terus terdengar, seperti tidur dalam kedalaman yang tak tersentuh.

Kak Lili menangis terisak di sudut kamar, menutupi wajahnya dengan tangan. Sementara Ayah, dengan tangan gemetar, segera mengambil ponselnya dan memanggil seseorang. Aku mendengar suaranya berbicara di telepon, memanggil seorang "orang pintar"--seseorang yang bisa menjelaskan kondisi Ibu ini dengan cara yang lebih spiritual, atau mungkin supernatural.

"Kalian tenang dulu. Ibu kalian pasti akan baik-baik saja. Ayah sudah telepon seseorang untuk segera datang ke sini."

Ayah berkata seperti itu karena ingin menenangkan hatiku dan Kak Lili yang sedang kacau. Dia tak memikirkan kondisinya sendiri.

Aku dan Kak Lili hanya mengangguk sebagai respons dengan mata yang tanpa dialihkan dari raga Ibu.

••🏠••

25 menit berlalu, akhirnya orang pintar itu datang, ia membawa serta seorang dokter yang tampaknya sudah cukup tua, dan aku bisa melihat campuran antara ilmu medis dan spiritualitas di dalamnya.

Orang pintar itu, seorang pria tua dengan janggut putih panjang dan sorot mata tajam, duduk di samping Ibu. Dia memejamkan mata sejenak, tangannya melayang di atas tubuh Ibu, seolah merasakan energi yang tidak terlihat. Sementara itu, dokter yang menemaninya, dengan stetoskop di leher, memeriksa kondisi Ibu dengan alat-alat medis seadanya.

"Ada apa dengan Istri saya?" tanya Ayah dengan nada yang hampir putus asa.

Orang pintar itu menghela napas dalam-dalam. "Kondisi seperti ini, mungkin dalam dunia sains, bisa disebut sebagai 'coma vigil.' Ini adalah keadaan di mana seseorang terlihat seperti sedang tidur, namun sebenarnya mereka tidak sadar sama sekali. Tidak ada aktivitas mimpi, tidak ada reaksi terhadap rangsangan eksternal, tapi tubuhnya masih bekerja secara normal. Benar atau tidak, Bu Dokter?"

[END] Pulang Tanpa IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang