🏠PROLOG

42 7 0
                                    

MALAM menyeramkan seperti biasa. Cahaya rembulan perlahan-lahan menembus jendela kamarku, memantulkan bayanganku yang lemah di dinding ruangan.

Aku duduk di ujung tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang redup. Bayangan lampu tidur memanjang di dinding, menciptakan ilusi yang seolah ada yang bergerak di atas sana. Terkadang, di tengah sunyi ini, aku mendengar suara langkah kaki di lorong. Suara yang aku tahu itu tak nyata, namun terlalu familiar untuk diabaikan.

Aku ingin percaya, itu adalah ... ibu.

"Ibu." Aku berbisik pelan, hampir seperti doa, memanggil sosok yang tak lagi bisa kupeluk.

Dulu, setiap malam, suara nyaring ibu akan menggema di rumah ini. Ia sering mengingatkanku untuk menaruh buku-buku yang berserakan kembali ke rak, atau memarahiku jika aku terlalu lama menatap layar ponsel. Ibu—dengan semua keberaniannya menegur, dan kasih sayangnya yang lembut, ia adalah fondasi dari rumah ini. Dan sekarang, rumah ini kehilangan fondasinya.

Aku rindu omelan ibu. Aku rindu suara nyaring ibu saat aku keseringan memainkan ponsel. Aku rindu sosok pemilik suara merdu, nyaring, dan parasnya yang bak bidadari. Semua itu kini tinggal gema kosong yang bergulir di kepala, berulang-ulang, tak kunjung henti.

Malam-malam seperti ini, di saat aku tidak bisa tidur dan hanya terduduk dalam kegelapan, aku merasakan kehadirannya yang paling kuat. Di sini, di dalam hening, aku bisa mencium aroma sabun yang biasa ibu pakai. Aku bisa mendengar derit lantai yang retak ketika ia berjalan pelan-pelan ke arahku, mendekapku dalam pelukannya yang penuh kehangatan.

Namun, itu semua hanya imajinasi—cobaan batin yang semakin hari semakin menggerogoti pikiranku. Seolah alam semesta ini hanya ingin mengejekku dengan kenangan yang tak bisa kumiliki kembali.

"Ibu, apa di sana lebih baik daripada di sini?" tanyaku pada keheningan. Hanya ada dengung samar kipas angin yang berputar di langit-langit, menjawab dengan kesunyian yang sama dinginnya dengan lantai tempat aku berpijak.

Rumah ini ... adalah rumah tanpa ibu. Dinding-dindingnya yang dulu penuh dengan suara tawa kini terasa dingin, membeku oleh kenangan-kenangan yang tak lagi terisi oleh kehadirannya. Dan aku hanya bisa berdiri di tengahnya, merasakan kehampaan itu tumbuh seperti tanaman liar yang merambat ke seluruh hatiku.

Pulang ke rumah tanpa ibu ... rasanya seperti pulang ke tempat yang bukan rumah. Karena rumah, bagi seorang anak seperti aku, bukan hanya bangunan, tetapi juga adalah tempat di mana ibu berada. Dan sekarang, aku tak tahu di mana lagi bisa menemukan rumah itu.

••🏠••

True Story. Penulis harap, dengan menyajikan kisah inspiratif ini, pembaca dapat memetik pembelajaran dalam setiap kata yang ditorehkan. Walau hanya sepenggal.

Ditulis pada:
1 September 2024

[END] Pulang Tanpa IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang