☺️
☺️
☺️Suasana ruang operasi di Rumah Sakit Dewa sangat tegang malam itu. Dewa, yang baru saja menyelesaikan rangkaian operasi minggu ini setelah liburannya, dihadapkan pada pasien terakhir hari itu. Kasusnya sulit, seorang pria dengan pendarahan internal yang parah akibat kecelakaan lalu lintas. Semua perhatian tertuju pada satu sosok: Dr. Dewa, sang ahli bedah yang terkenal dengan ketepatan dan kecepatannya di meja operasi.
"Scalpel," ujar Dewa dengan nada tenang tapi tegas, matanya fokus pada area yang harus segera ditangani.
Perawat-perawat di ruangan itu bergerak cepat mengikuti arahannya. Suster Maya, salah satu perawat yang selalu mendampingi Dewa, menyadari bahwa Dewa mulai tampak kelelahan. Namun, seperti biasa, ia tetap memimpin dengan penuh percaya diri dan ketenangan, membuat semua orang di ruangan itu merasa bahwa situasinya terkendali.
"Tekanan darah turun," lapor salah satu perawat anestesi.
Dewa mengerutkan kening, tahu bahwa waktu sangat berharga. Ia segera memutuskan langkah berikutnya. "Tambah darah, segera! Jangan sampai kehilangan lebih banyak."
Dengan cepat, Maya menyerahkan kantong darah sambil tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah wajah Dewa. Bagi Maya, melihat Dr. Dewa bekerja adalah pemandangan yang membuatnya kagum sekaligus tergila-gila. Ia selalu terpikat oleh ketampanan dan kecerdasan Dewa. Maya bahkan sering masuk ruangannya tanpa izin, sekadar mencari alasan untuk melihatnya lebih dekat.
Namun, Dewa tak pernah mengindahkan tatapan genit Maya. Ia terlalu fokus pada pasien. Kali ini pun, meskipun tubuhnya mulai terasa berat, ia tetap berdiri tegap, kedua tangannya bekerja lincah melakukan penjahitan di bagian yang paling kritis.
"Jahitan selesai. Buka katupnya sekarang," perintahnya cepat.
Detik-detik berlalu, ketegangan di ruangan makin terasa. Semua mata tertuju pada monitor, menunggu hasil dari tindakan yang baru saja dilakukan Dewa. Suara mesin detak jantung mulai stabil perlahan, membuat para perawat menarik napas lega.
Dewa menyeka keringat di dahinya, matanya tak lepas dari pasien di depannya. "Pasien stabil. Bawa ke ICU. Pengawasan ketat selama 24 jam."
Tim bedah pun bergerak cepat untuk menyelesaikan proses penutupan dan memindahkan pasien. Namun, setelah memastikan semuanya dalam keadaan aman, Dewa akhirnya menurunkan tangannya dan mundur beberapa langkah, kelelahan mulai menjalari seluruh tubuhnya. Dia menggerak-gerakkan bahunya dan memijat tengkuknya sendiri, mencoba meredakan rasa sakit yang menyerang dari punggung hingga ke pinggangnya.
Maya, yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya, melihat kesempatan. Ia berjalan mendekat sambil tersenyum genit. "Dok, kelihatannya capek banget. Mungkin saya bisa bantu, mau saya pijetin, Dok?" tanyanya, sambil berusaha terlihat manis.
Dewa menoleh dan melihat Maya sebentar. Raut wajahnya tak berubah, tetap datar, meski sedikit kesal dengan sikap Maya yang selalu terlalu dekat. "Nggak perlu, Maya. Aku bisa urus sendiri," jawabnya singkat sambil memijat bahunya sendiri lebih kuat. Ia berjalan ke luar ruang operasi setelah membersihkan tangannya.
Dewa memasuki ruangan pribadinya, membuatnya kesal, Maya mengikutinya dari belakang dan memaksa masuk tanpa izin.
Maya tersenyum, tak menyerah begitu saja. "Dokter Dewa, saya sering lho mijat teman-teman di sini. Saya jago, bisa bikin badan langsung rileks. Lagipula, Dokter Dewa kan butuh istirahat yang benar. Saya dengan senang hati, kok."
Dewa berhenti melangkah dan menatap Maya dengan tegas. "Saya bilang nggak perlu. Dan Maya, tolong ya, jangan masuk ruangan saya lagi tanpa izin," katanya sambil menarik napas panjang, menunjukkan dengan jelas bahwa ia tak suka dengan pendekatan Maya yang selalu tiba-tiba.
![](https://img.wattpad.com/cover/352950955-288-k613907.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Tukang Pijatku
De TodoDewa Samudra Bumantara adalah dokter muda berusia 29 tahun yang masih betah menjomblo di saat kakak kembarnya Raga Samudra Bumantara telah menikah bahkan adik kecilnya Ranina pun kini telah cukup lama bersuami. Raga dan Nina telah berkeluarga dan t...