Bab 4

201 47 35
                                    

Semilir angin sore menerpa tubuh seorang pemuda manis yang kini tersadar dari pingsannya.

Dengan tatapan teduh, pemuda itu menatap langit yang kini berwarna oren kemerahan, pertanda bahwa ia sudah cukup lama tak sadarkan diri di rooftop sekolah.

Dengan langkah gontai ia menuruni satu per satu anak tangga, berniat kembali ke kelas untuk mengambil tasnya. Sepanjang jalan ia tidak menemukan satu orang pun di dalam gedung sekolah, tak mengherankan, karena memang sekolah telah berakhir sejak tiga puluh menit yang lalu.

Setelah mengambil tasnya, Rafa hendak berbalik untuk keluar kelas. Namun, kepalanya lebih dulu menoleh ke arah empat kursi di baris paling belakang. Pandangannya terpaku ke keempat kursi tersebut, yang mana tiga di antaranya merupakan kursi milik para pembully dan satunya lagi milik Ezra.

Hanya dengan memandang benda tersebut mampu membuat bola matanya berembun dan tangannya gemetar. Kepalanya tertunduk, jemarinya meremat kuat celana yang ia kenakan. Tetes demi tetes air mata mulai mengalir membasahi wajah lebamnya dan disusul dengan isakan yang keluar tanpa diminta.

Rafa ingin sekali berteriak bahwa ia sudah lelah, rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk sekedar berhadapan dengan tiga pemuda itu yang membuat kehidupan sekolahnya seperti di neraka.

Dirinya merasa frustrasi. Ia udah sangat muak menjadi korban perisakan di sekolah elite ini. Menjadi pintar, memiliki paras rupawan dan hati yang baik, serta harta sekalipun tidak bisa menjamin semua hal akan berjalan sesuai dengan keinginan kita.

Jika boleh jujur, Rafa memiliki satu impian sedari dulu. Ia sangat ingin berteman dengan para pembully, kerena tidak dapat dipungkiri jika dirinya merasakan sedikit kehangatan saat bersama mereka. Aneh memang, tapi jika sedang bersama ketiga pemuda itu dirinya jadi merasa mempunyai teman dan tidak kesepian lagi, apalagi saat mereka membuat lelucon dan tertawa bersama.

Namun, apa boleh buat jika takdir seolah tidak merestuinya untuk menjadi teman dari ketiga pemuda itu, tetapi malah sebaliknya. Ia harus menjadi korban yang lemah dan sama sekali tidak bisa melawan ketika ditindas.

Rafa menyeka air matanya kemudian menarik nafas panjang, mencoba menghentikan tangisan yang semakin lama membuat dadanya terasa sesak.

Ia berjalan keluar kelas setelah merasa lebih baik. Kakinya terus melangkah hingga membawanya melewati parkiran sekolah yang sudah sepi. Dari sudut matanya dapat ia lihat ada motor sport berwarna hitam yang masih terparkir rapi di sana, juga seorang pemuda yang duduk di atas motor itu.

Tidak terlalu memedulikan, Rafa memilih untuk terus berjalan keluar dari parkiraan dan menuju halte bus yang tidak terlalu jauh dari gedung sekolah.

Kepalanya sedikit ia tundukkan ketika orang-orang yang berlalu lalang di sana melihatnya dengan tatapan aneh. Mungkin tidak semestinya seorang pelajar berpenampilan kacau seperti dirinya yang terdapat luka lebam di wajah, juga seragamnya yang lusuh.

Ketika sudah sampai di halte, Rafa menarik sudut bibirnya ke atas membentuk senyum tipis. Ia berjongkok untuk mengelus seekor kucing berbulu oren yang terlihat sangat menggemaskan.

Rafa membuka tasnya untuk mengambil makanan kucing yang selalu dibawanya ke mana-mana, barangkali ia bertemu kucing liar yang kelaparan seperti sekarang.

Sudah sejak lama Rafa menyukai kucing tetapi ia tidak pernah memeliharanya sendiri, dan itu sebabnya dirinya selalu bermain dengan kucing liar yang ia temui di jalan. Dengan bermain bersama makhluk menggemaskan itu dapat membuat suasana hatinya menjadi jauh lebih baik.

Cukup lama Rafa menunggu bus yang tak kunjung datang hingga membuatnya bosan, tetapi untungnya ada makhluk berbulu oren yang setia menemaninya, atau mungkin lebih tepatnya setia pada makanan yang telah Rafa berikan.

Tangan mungilnya terulur untuk mengelus bulu kucing itu yang sedang sibuk menyantap makanannya dengan lahap.

"Karena bulu kamu warnanya oren, jadi aku bakal kasih kamu nama Senja. Namanya bagus, kan?" tanya Rafa yang mana langsung dibalas dengan geraman keras dari kucing itu, seolah tidak setuju dengan nama yang diberikan pemuda di hadapannya.

Rafa menaikkan alis, mulutnya hendak mengeluarkan pertanyaan lain, tetapi bayangan seseorang lebih dulu mengambil alih perhatiannya. Bayangan seorang laki-laki yang tepat berada di depannya itu membuat Rafa mendongak untuk melihat wajah orang tersebut. Spontan, dirinya langsung bangkit ketika menyadari orang itu adalah Ezra.

Rafa melirik ke arah motor sport hitam yang sebelumnya ia lihat saat di parkiran sekolah. Itu artinya orang yang tadi dirinya lihat di parkiran adalah Ezra yang memang belum pulang.

"Rafa," panggil Ezra.

"Ya?"

"Pulang bareng gue, ya? Lo udah nunggu bus lumayan lama, tapi masih belum ada juga busnya."

Ajakan yang keluar dari mulut Ezra berhasil membuat Rafa terdiam. Setahu Rafa, Ezra jarang bicara cukup panjang seperti ini kepada orang lain, tapi entahlah Rafa tidak terlalu memedulikannya. Yang terpenting sekarang bagaimana cara menolak ajakan itu? Ia sungguh tidak enak jika menolak secara terang-terangan, tapi benar juga kata pemuda itu, dirinya sudah menunggu bus cukup lama.

Sebelum Rafa menerima tawaran itu, ia lebih dulu terpikir bagaimana Ezra bisa tahu jika dirinya menunggu bus lumayan lama? Tapi sekali lagi itu tidak penting sekarang, karena Rafa benar-benar ingin pulang secepatnya dan alhasil ia memilih untuk menerima tawaran Ezra.

Sebelum benar-benar meninggalkan halte, Rafa menyempatkan diri untuk menepuk-nepuk pelan kepala Senja sambil berpamitan dengan kucing itu. Tindakannya berhasil membuat Ezra membuang muka untuk menutupi senyum gemasnya.



TBC

_
_
_

Mata Kembar Buta [BxB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang