Om 2

4.8K 125 3
                                    

Keesokan paginya, Harvey terbangun dengan rasa nyeri di seluruh tubuhnya. Setiap gerakan terasa berat dan menyakitkan, namun dia memaksakan diri untuk bangun.

Setelah mandi dan berpakaian, Harvey berjalan ke kamar kakaknya, ingin memastikan apakah kakaknya sudah bangun. Ternyata, kakaknya sudah berada di meja makan bersama paman mereka, Malik, sedang sarapan.

Harvey merasa canggung saat melihat pamannya. Ada rasa gelisah yang tak bisa dijelaskan, namun dia mencoba menutupinya. Tanpa bicara banyak, dia duduk dan makan sarapan dengan cepat, lalu bersiap-siap untuk pulang bersama kakaknya ke rumah nenek mereka.

Keluarga Harvey sedang berlibur di rumah nenek selama seminggu. Suasana pedesaan yang tenang, angin sepoi-sepoi yang membawa aroma ladang, seharusnya membuat liburan ini menyenangkan.

Namun, dua hari sebelum liburan berakhir, ibunya, ayahnya, nenek, dan kakaknya pergi ke ladang, meninggalkan Harvey sendirian di rumah.

Saat Harvey sedang duduk sendiri di ruang tamu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

"Tok, tok, tok." Harvey mendekati pintu dan membuka sedikit celah.

"Siapa?" tanyanya, sedikit waspada.

Di balik pintu, berdiri paman Malik. Harvey terkejut, namun sebelum dia sempat menutup pintu, tangan Malik menahannya.

"Harvey, om mau ngomong sebentar. Boleh om masuk?" Malik berbicara dengan nada lembut, tapi tatapan matanya tajam, membuat Harvey merasa tidak nyaman.

Dengan ragu, Harvey membiarkan Malik masuk dan mereka duduk di ruang tamu. Jantung Harvey berdegup kencang. Ada perasaan aneh yang membayangi, tapi dia tidak bisa mengartikulasikannya.

"Ada apa, Om?" tanya Harvey, berusaha menjaga jarak. Malik menarik napas panjang, seolah sedang menimbang kata-katanya.

"Om mau minta maaf... untuk yang terjadi ." Harvey terdiam. Ingatan tentang kejadian yang menghantui pikirannya. Dia ingin melupakan, tapi bayangan itu masih segar.

"Lupakan saja, Om," jawab Harvey singkat, mencoba mengakhiri percakapan.

Namun, Malik melanjutkan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

"Tapi, Om... Om nggak bisa berhenti memikirkan Harvey. Om benar-benar suka sama kamu, Om... cinta." Harvey merasakan guncangan hebat dalam dadanya. Kalimat itu menghantam seperti petir di siang bolong.

"Enggak, Om. Kita... kita nggak boleh begini," suaranya mulai bergetar, berusaha keras menahan air mata.

"Sttt... Tak apa, Harvey. Tak ada yang perlu tahu," Malik mencoba menenangkan, mendekat dengan perlahan. Harvey terdiam ketika om memeluk dirinya.

Setelah Malik mendekati Harvey yang masih menangis, ia dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Harvey, lalu menariknya ke dalam pelukan.

Harvey tidak bisa bergerak, tubuhnya masih gemetar ketakutan, namun ia merasa tak berdaya untuk melawan.

Malik mengelus punggung Harvey dengan lembut, seolah-olah mencoba menenangkan rasa takut yang membara di dalam diri Harvey.

"Tenang, Harvey. Om di sini, nggak akan ada yang menyakitimu," ucap Malik dengan suara pelan.

Harvey ingin menjauh, tapi tubuhnya terasa berat. Ada sesuatu yang menghalanginya untuk bergerak.

Malik dengan hati-hati membawa Harvey menuju kamarnya, membuka pintu, dan memandunya untuk duduk di tepi ranjang.

Kamar itu terasa sunyi, hanya suara napas Harvey yang terdengar cepat, sementara Malik tetap berdiri di depannya, memperhatikan.

"Harvey, kamu tahu, kan? Om sayang sama kamu," Malik berbicara lagi, nadanya penuh keyakinan.

Haechan BPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang