t u j u h 🦋

200 33 46
                                    

Jakarta, Indonesia 2024

Saat pintu kayu Shoji ala Jepang itu di geser, Jay masuk ke dalam studio milik Luna. Tempat itu tidak terlalu besar namun cukup nyaman. Di partisinya terjajar vas, mangkuk, asbak, mug dan patung dengan pola yang indah.
Terdapat beberapa rak etalase yang di dalamnya terjajar rapi sabun dan lilin aromaterapi dengan warna-warna cantik. Sebuah dinding kaca memperlihatkan ruangan di sebelahnya berupa kelas membuat tembikar. Lengkap dengan meja putar dan juga perapian.
Jay masih menyusuri pandang, lalu senyumnya mengembang melihat potret Luna dan beberapa orang lainnya di pajang dengan kolase polaroid. Senyum Luna dengan binar mata ceria. Ia pernah melihat itu terakhir di pinggir danau IJsselmeer.

"Selamat datang di Butterfly Stu...di...o"
Gadis dengan apron yang rambutnya di cepol ke atas itu terbelalak melihat siapa yang datang.

Jay dan Luna sama-sama tertegun sebentar saat mata mereka saling pandang. Saling menyelami sosok di hadapannya masing-masing. Kini Jay dapat leluasa melihat Luna setelah ketidaksengajaan mereka bertemu di Fairmont. Wajah ayu dengan hidung mungil dan bibir ranum. Luna telah merekah lagi. Pesonanya yang dulu telah kembali. Bahkan kini jauh lebih cantik.

"Ngapain kamu datang kesini? "
Nada bicara Luna spontan jadi meninggi. Memecah kebisuan antara mereka.

Jay tak langsung menjawab, pandangnya ia turunkan. Sebab mata lembut yang dulu dikenalnya kini berubah menjadi tajam. Pandangan Luna terhadapnya laksana bunga es runcing. Dingin dan mematikan.

Jay lalu menyodorkan sebuah paperbag berwarna salem.

"Aku ingin kembalikan ini"
Ucap Jay lembut.

Luna termenung melihat Jay, dalam batinnya berkecamuk banyak pertanyaan.

Darimana Jay tau tempat ini?
Apa sebenarnya tujuan Jay datang kesini?
Mengembalikan sesuatu?
Apa itu?

Namun tak ada satupun pertanyaan itu terlontar. Rasanya seperti sudah di ujung lidah tapi begitu sulit di ucapkan Luna.

Jay tau kedatangannya membuat Luna tidak nyaman. Maka ia membuatnya singkat. Dan perlahan ia berharap Luna terbiasa.

Luna hanya diam dan tangannya tak menerima apa yang di berikan oleh Jay. Luna berdiam namun sebenarnya ia dalam keadaan siaga. Kakinya sudah siap mundur untuk menghindari jarak yang terlalu dekat dengan laki-laki di hadapannya. Jay hanya tersenyum, dan meletakan paperbagnya di meja. Ia menyadari kebencian Luna padanya membentuk sikap dingin yang sulit di tembus. Tapi selalu ada cara, bahkan untuk mencairkan gletser di titik beku.

"Senang bertemu kamu lagi, sampai jumpa Luna"
Tukas Jay sesaat sebelum ia berlalu.

Luna tak beranjak sampai bayang punggung laki-laki itu benar-benar hilang.
Padahal Luna sudah bersiap dalam perlawanannya untuk mengusir Jay. Ia sedikit terkejut Jay berlalu dengan cepat.

Lebih dari itu ia merasakan ada yang aneh dalam batinnya penolakan akan hadirnya Jay tak sebegitu keras sekarang. Ia jauh lebih tenang.

Ahh mungkin karena obat yang ia minum pagi ini, batinnya saat itu.

Waktu berlalu dengan banyak lamunan Luna, yang masih enggan membuka paperbag dari Jay.
Pikirannya melayang-layang sambil sesekali mencuri pandang pada barang berwana salem dengan pita merah besar di meja.

Beberapa kali ia salah saat carving objek tembikar yang akan di buatnya lalu konsistensi bahan yang tidak sesuai karena wedge atau proses menghilangkan gelembung udara di tanah liat tidak sempurna. Luna menghela nafas panjang karena untuk kesekian kalinya ia masih salah juga. Ia benar-benar sedang tidak fokus. Sampai ia harus memulangkan muridnya lebih awal. Dan mengganti kelasnya minggu depan.

Broken Wings 🦋 Jay Idzes X JisooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang