Bulan telah menjulang melintasi cakrawala. Memberikan pencahayaan bagi makhluk penghuni. Bisikan angin bagaikan nyanyian pengantar tidur, yang menambah kenyamanan di malam yang dingin.
Setelah berhasil memberantas para monster, tak terasa ternyata matahari sudah mulai terbenam. Tak akan terkejar oleh waktu bila Sopan memaksakan untuk pulang ke kediamannya. Malam hari merupakan waktu bagi para monster yang lebih kuat beraksi, tak baik berkeliaran di gelapnya malam. Ditambah lagi, Sopan dan Gentar hanya membawa perbekalan seadanya. Persenjataan yang terlalu sederhana, yang tak cocok dipakai untuk menantang maut.
Maka dari itu, Sopan menyarankan untuk bermalam di tengah hutan. Tepat dibawah pohon tebal tempat mereka bertemu dengan monster yang disebut-sebutkan oleh Gentar. Yah walaupun, Gentar tampaknya amat menolak keras usulan Sopan.
"Walah jingan! Udah jadi putra mahkota pun ternyata gua masih harus simulasi jadi gelandangan," gerutu Gentar.
"Apakah Anda tak pernah berkemah di hutan-hutan, Gentar? Rasa-rasanya, saya tak pernah mendengar kabar tentang tindak-laku Anda bertahun-tahun dahulu." Sopan mengikat tali kekang kuda tunggangannya pada ranting pohon.
"Emoh," balas Gentar terlalu singkat.
Sopan memiringkan wajahnya. Rasanya Sopan perlu menacatat tiap kosakata yang diucapkan Gentar dan mempelajarinya bersamaan dengan kelas bahasa kuno. Karena tampaknya, akan berguna untuk mempermudah komunikasi. Dengan Gentar. Setelah meneliti gerak-gerik Gentar— menendang kerikil, mengais-ngais tanah dengan kasut, beserta meninju udara, bahkan jikalau dilihat dari raut Gentar, sepertinya Gentar tidak pernah melaksanakan yang namanya berkemah di tengah hutan dalam keadaan terdesak tanpa persiapan yang matang. Sopan menerka demikian.
"Saya akan meminjamkan jubah milik saya. Andaikata Anda tak dapat terlelap karena gigitan serangga," ucap Sopan.
"Wah, cius? Baik amat lo jadi orang, ngabs." Gentar terkikik, tangannya berayun-ayun untuk menepuk punggungnya Sopan.
Sopan memasang senyuman karirnya. Tepukan Gentar itu terasa tak bersahabat, tapi rasanya Gentar tak bermaksud buruk dari tindakannya itu.
"..? Terimakasih..?"
—
Bulan sudah bersemayam tepat di atas kepalanya, tapi Sopan tak kunjung merasakan kantuk. Bukan dikarenakan tak terbiasa tidur di luar, hati Sopan rasanya risau karena tak sempat berpamit pada yang terkasih.
Akankah dewi-nya mengkhawatirkannya? Sopan memang biasa mengunjungi Sang dewi pada saat tengah malam seperti saat ini.
Perapian yang dirakit seadanya itu menyala untuk menghangatkan tubuh kedua pangeran dari kejamnya suhu di malam hari. Sopan menoleh pada sisi kirinya, ingin setidaknya mengetahui bagaimana kondisi dari rekannya itu.
"T-tidak, istriku! Jangan ceraikan aku, hikroooottt!!" Gentar mengigau.
Sopan rasa, Gentar tak mengalami masalah apapun dalam melewati malam sunyi ini. Lantas, dirinya pun beranjak pergi meninggalkan Gentar seorang diri.
Kakinya terus melangkah menjauh, dalam diam. Sopan tak ingin membagi dewi-nya dengan siapapun. Tidak untuk Gentar sekalipun. Lagipula, Gentar telah beristri. Sopan rasa tak pantas untuk mengenalkan Gentar pada dewi-nya itu.
Langkahnya terhenti, begitu kasut berbahan kulit miliknya bertabrakan dengan genangan air. Tepat di hadapannya, terdapat sungai yang mengalir. Sungai ini merupakan sungai yang menghubungkan kedua wilayah yang berbeda, Baraju beserta Quabaq. Sebagai bentuk simbolis perdamaian, kedua wilayah pun menyetujui untuk membiarkan sungai tersebut tidak termasuk ke dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Sopan menekukkan lututnya. Ia mencelupkan telapak tangannya pada permukaan sungai seraya berbisik, "(Nama). Wahai dewi-ku, adakah kehadiranmu menyertaiku?"
Sopan menunggu. Terus-terusan menunggu setelah membisikkan kata-kata tersebut.
“Aku mendengarmu, Pangeranku.”
Air muka Sopan yang semula risau itu tergantikan dengan senyuman sumringah. Kendati mendapati bisikan balas dari empu yang dimaksudkannya.
Sungai yang semula tenang itu perlahan melayangkan bulir-bulir air, hingga membentuk suatu rupa manusia yang tampilannya tak manusiawi. Seorang makhluk mitologi. Kain putih yang hanya dililitkan di sekujur tubuhnya dengan ikat pinggang untuk menjaganya tetap terlekat merupakan simbolik khas miliknya. Kedua kakinya tak menapak, melainkan melayang di atas permukaan sungai selagi memandangi makhluk fana yang memanggilnya.
"(Nama), aku merindukanmu." Pengakuan tak tahu malu itu terlontarkan oleh lisannya.
Yang dimaksudkan dari pangeran itu menanggapi dengan tawa halus. Figur bercahayanya mendudukkan diri di samping pangeran yang masih terpukau. Lengannya membawa tubuh Sopan untuk bersandar padanya. Membaringkan sang pangeran pada pangkuannya— seolah mengetahui kesulitannya dalam terlelap untuk malam ini.
Kedua sisi wajah lelaki itu bersemu. Bantalan empuk yang menjadi sandarannya untuk tidur bahkan sepuluh kali lipat lebih nyaman dari kasur di istana. Pupil heterochromia miliknya memandangi pemandangan surgawi di hadapannya, tidur di pangkuan sang dewi.
"Jangan membelaiku begitu, wahai dewi-ku... Aku, bisa langsung tertidur dengan lelap, jika itu dirimu." Tatapannya memelas ke arah dewi-nya itu. Sensasi menggelitik di saat surai kecoklatan sang pangeran dielus dengan kasih sayang itu seolah menghipnotisnya. Bagaikan penenang di kala ribut.
"Bukankan bagus? Ini sudah larut, Sopan. Kamu pasti lelah berkelana hingga kemari," heran sosok yang dipanggil dewi— (Nama).
Kepalanya menggeleng. Tangannya meraih lengan mulus (Nama), mendekapnya erat bagaikan jimat keberuntungan untuknya.
"Aku masih ingin berbincang denganmu," pintanya.
"Ya ampun," (Nama) terkekeh.
"Kita masih bisa berbincang di esok hari. Anak kecil tidak boleh tidur larut malam," lanjut (Nama).
Raut wajah Sopan tampak kecewa. Tak banyak waktu yang bisa dihabiskannya dengan dewi-nya, dikarenakan kesibukan dari seorang pangeran. Ditambah, Sopan masih harus menghadiri kelas untuk menggantikan posisi Retak'ka sebagai penguasa Baraju. Dan lagi, Sopan harus benar-benar memastikan bahwasanya kondisi sekitar itu benar-benar sepi dan tak ada satupun orang yang berlalu-lalang. Sopan tak ingin kehadiran (Nama) diketahui banyak orang.
"Aku sudah memasuki usia dewasa, (Nama). Setidaknya, untuk ukuran manusia normal.." Sopan menghela nafasnya.
"Oh begitu? Di mataku, semua manusia itu masih bayi. Kamu masih anak bayiii. Bayi kecilkuu." (Nama) malah bergurau pada saat Sopan serius akan perkataannya.
Memang, seorang yang kekal abadi pastinya tak pernah merasakan lambatnya waktu berjalan. Baginya, satu tahun itu bagaikan satu hari, satu dekade itu bagaikan sepuluh hari, dan satu abad itu bagaikan satu bulan lamanya. Terus-terusan hidup tanpa kehadiran yang lain itu benar-benar menyiksa. Manusia yang merupakan makhluk sosia tak akan ernah dapat bertahan. Akan tetapi, (Nama) bukanlah manusia. Dirinya itu seorang peri yang rupawan parasnya. (Nama) dapat hidup hingga berabad-abad lamanya. Sedangkan, Sopan bisa meregang nyawa kapan saja. Karena ancaman senantiasa menunggunya.
Biar bagaimanapun, Sopan tak ingin mempedulikannya. Sopan hanya ingin berlarut dalam ketenangan, kehangatan yang selalu diberikan oleh (Nama). Sesuatu yang tak pernah dirasakannya. Biarkanlah, Sopan merasakan manisnya kebahagiaan untuk sejenak. Untuk kali ini saja.
"Aku tidak ingin menjadi bayimu," tolak Sopan.
"Kalau begitu jadi anakku."
"Tidak mau."
"Tidak mau? Hm.. jadilah peliharaanku."
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Savior | Sopan x Reader
FanfictionSebuah cerita fiksi Sopan x Reader | Terlahir sebagai seorang pangeran tak lantas menjadikannya bahagia. Dituntut oleh begitu banyaknya ekspektasi seolah menggerogoti kehidupan yang ada dalam dirinya. Pelariannya hanyalah masa-masa dimana keajaiban...