Sudah pertolongan yang ke-berapa yang diterimanya dari Sang dewi? Sudah berapa kali (Nama) menyelamatkan hidupnya? Sopan benar-benar mendedikasikan hidupnya hanya untuk (Nama) seorang, untuk menyelamatkan (Nama) dan bukan sebaliknya.
Bertelanjang kaki menyusuri hutan belantara, berkali-kali menginjak beling maupun kerikil itu bukanlah hambatan. Setidaknya, selama (Nama) masih 'tertidur' karena energi Sopan yang tak mencukupi untuk memanggilnya, maka tak ada masalah. (Nama) akan mengomelinya jika Sopan ketahuan terluka. Padahal (Nama) bahkan tak mampu mengobati luka Sopan yang didapati tempo lalu. Kekuatan (Nama) terbatas, sesuai dengan kemampuan tubuh Sopan untuk bertahan.
Sopan tak tahu, kemana kakinya berpijak. Kemana langkahnya akan membawanya. Pikirannya berkecamuk akan begitu banyak hal yang beragam, tak peduli apapun itu.
Hingga tanpa sadar, dirinya tiba pada desa kecil yang dihuni oleh para lansia dan anak-anak. Para anak kecil yang berlarian itu tak sengaja menabraknya, membuat atensi semua penduduk beralih pada Sopan yang hanya terdiam di tempat tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun. Betapa menyedihkan kondisinya saat ini, hingga rasanya seperti berlalu-lalang tanpa busana.
"Ah, Pangeran berkuda putih!" Pekik salah seorang gadis kecil, ke arahnya.
"Pangeran yang tampan!"
Para anak kecil berteriak riuh. Tanpa adanya keinginan untuk saling mengalah, walaupun Sopan tak mengeluarkan suara apapun. Hingga datanglah seorang menghampiri mereka, dengan tongkat sebagai alat bantunya untuk berjalan.
"Ya ampun. Nampaknya kita kembali mendapatkan tamu yang istimewa." Tok Liam memecah keributan.
Uluran tangan Tok Liam menggapai pundak Sopan yang terpuruk. Memberikan sebuah senyuman seraya berucap, "Mari berehat sejenak, Sopan. Kamu pasti lelah."
Kebaikan yang tak dapat dibalasnya lagi. Kedatangannya yang tiba-tiba ini kembali diterima dengan baik oleh penduduk desa ini, walaupun Sopan, tak begitu memiliki peran apapun dalam menyejahterakan mereka. Sopan tak berbuat apapun demi mereka, tapi mengapa mereka begitu mengasihinya?
Menyadari Sopan yang tak beranjak, Tok Liam kembali angkat suara, "Hidup itu bagaikan roda yang berputar. Memang berat untuk mencapai posisi atas, tetapi begitu mudahnya berada di posisi paling bawah."
"Tapi, di segala keterpurukan, pasti akan ada kebahagiaan yang menanti nantinya, Ananda Sopan. Tok akan senantiasa mendoakan yang terbaik untukmu."
—
"Nah, bagaimana? Kakak sudah mendingan?" Papileon bertanya.
Sopan hanya mengangguk, dengan senyuman tipis sebagai unjuk rasa terimakasihnya. Tak hanya diberikan santapan, Sopan bahkan dirawat luka-lukanya. Padahal, desa ini pastinya sulit akan pemasokan bahan-bahan baku mengingat letaknya yang berada di pelosok kota. Jauh dari pusat perdagangan.
"Maaf, saya.. merepotkan, Tok Liam. Saya akan beranjak secepatnya." Sopan mengelus tengkuk lehernya. Tak enak hatinya untuk terus-terusan diperlakukan bagaikan pangeran oleh penduduk.
Tok Liam menggelengkan kepalanya. Tangannya terulur dan mengelus pucuk kepala Sang Pangeran. "Tinggallah selama yang kamu mau, Sopan. Desa ini selalu menerima keberadaanmu."
"Terimakasih.."
Perbincangan singkat terus berlanjut, dikarenakan kakek dan cucu itu terus saja menambah topik pembicaraan hingga pembicaraan tak terselesaikan. Ditambah, untuk menemani Sopan yang tengah dilanda keterpurukan.
Sopan tak mengerti. Entah kebajikan apa yang diperbuatnya untuk mendapatkan perlakuan yang begitu spesial ini. Padahal Sopan sendiri, tak begitu mempedulikan rakyatnya sendiri.
Tok Liam dan Papileon sengaja membiarkan Sopan menyendiri, untuk sekedar menenangkan diri. Setelah semua hal yang menimpanya.
"Psst!"
"..?"
"Sopan!"
Sopan mengerjap, menatapi liontinnya yang kini memancarkan kilauan cahaya diselingi oleh bisikan peri itu.
"Aku akan sedikiitt memakan energimu. Maaf, sebelumnya."
Selagi bibirnya terbuka, belum sempat lagi Sopan mengatakan jawaban yang hendak diberikannya, liontin itu kembali memancarkan kilauan cahaya yang begitu terang. Hingga Sopan sampai harus menutup mata, untuk terhindar dari kebutaan.
Setibanya penglihatannya pulih, Sopan tiba-tiba merasakan perasaan lemas yang luar biasa. Sedikit bagi (Nama) itu, teramat berbeda dengan Sopan. Beruntung, Sopan tidak sampai pingsan karena (Nama) menyedot energinya.
"Aduh, bayiku." (Nama) menangkup Sopan dalam pelukannya. Menyelimuti tubuh Sopan dengan kesejukan yang terpancar dari tubuhnya.
Ini bukanlah kali pertama Sopan merasakan sakit, tapi (Nama) tetap memperlakukannya bagaikan boneka kaca yang mudah retak. Selama (Nama) menyayanginya, Sopan sih tak masalah.
Cup!
"...!?"
Sekujur tubuhnya tiba-tiba tak dapat digerakkannya. Sopan mengerjap, mulutnya terkatup rapat, setelah (Nama) tiba-tiba melakukan hal yang tak pernah diduga-duga olehnya. Seketika, wajah Sopan memerah saat menyadari hal yang baru saja terjadi. Sebuah kecupan didapatkan dari dewi pujaannya tanpa usaha apa pun.
Rasanya jantung Sopan hampir terhenti, saat merasakan kecupan manis (Nama) mendarat di wajahnya. Wajahnya mengadah, menghadap (Nama) untuk meminta penjelasan atas perilakunya barusan. Setahu Sopan, cintanya ini bertepuk sebelah tangan. (Nama) selalu menganggap Sopan sebagai anaknya, dan bukanlah seorang pria. Bisa saja, (Nama) lagi-lagi hanya memberikan harapan palsu untuk Sopan, bukan? Itulah alasan yang paling masuk akal.
"Oh astaga. Kamu malu?" (Nama) terkekeh.
Pertanyaan itu malah semakin memicu nuansa merah menjalar ke seluruh permukaan wajahnya Sopan, bahkan hingga area tengkuknya, Sopan yakin. "Berhentilah menggodaku, (Nama)."
Padahal sedetik yang lalu, suasana hatinya Sopan sedang tak baik. Tampaknya (Nama) memang sengaja melakukan hal ini. Hanya agar Sopan dapat melupakan perasaan sedihnya.
"Tak seorangpun dapat memerintahku. Termasuk kamu, Pangeranku."
—
Seisi desa langsung heboh, tatkala mendapati figur gadis dewasa tiba-tiba keluar dari rumah tempat Sopan berehat. Setahu mereka, Sopan bukanlah tipe pria yang akan membawa sembarang gadis untuk ditiduri. Tapi, setelah mengetahui asal-muasal, serta memperhatikan hal-hal yang tak manusiawi dari gadis itu, mereka pun mengerti. Peri itu sudah terpikat dengan Sopan. Entah karena alasan apa. Melindunginya dari marabahaya, walaupun tak semuanya dapat terhindar. Yang pasti, Sopan dimuliakan olehnya.
"Salam hormat untuk semuanya. Kelancangan saya untuk menginjakkan kaki disini, harap-harap dapat diwajarkan karena keadaan terdesak. Sebagai gantinya, saya akan mempersembahkan hadiah spesial, karena tuan dan nyonya sudi merawat Sopan tanpa pamrih," kalimat pengenalan itu diucapkan oleh (Nama).
Papileon— yang merasa bertanggung jawab karena ketidakhadiran Tok Liam, melangkah maju.
Bibirnya terbuka, menyuarakan keingintahuannya, "Hadiah apa? Sudah dikatakan bahwa kami tak benar-benar mengharapkan imbalan dari peri. Cukup hiduplah dengan tenang, agar desa ini tak menjadi sasaran empuk oleh Kaizo— si tiran kekaisaran."
(Nama) tersenyum menanggapinya. Yang kemudian, lengannya terbuka seraya merapalkan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh rakyat awam. Mengakibatkan getaran daratan tiba-tiba terpicu, hingga menghasilkan pusaran air menggenang di atas daratan sebagai sumber air yang baru. Desa yang terletak di pelosok, dihadiahkan sumber mata air, oleh peri air itu sendiri.
"Ya, Dewa!" Pekik Papileon.
Jangankan danau, genangan air saja sulit dijumpai di daratan tandus pada wilayah Gogobugi. Keajaiban ini sudah seperti anugrah dari Dewi.
"Dengan begini, saya harap kalian tak akan keberatan kalau Sopan kembali merepotkan."
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Savior | Sopan x Reader
FanfictionSebuah cerita fiksi Sopan x Reader | Terlahir sebagai seorang pangeran tak lantas menjadikannya bahagia. Dituntut oleh begitu banyaknya ekspektasi seolah menggerogoti kehidupan yang ada dalam dirinya. Pelariannya hanyalah masa-masa dimana keajaiban...