Epilog

736 103 5
                                        

Dewa yang selalu dimaksudkan (Nama) itu memang tak merestui kehidupan keduanya, tapi ia pun tak dapat berbuat apapun. Karena sekeras apapun usahanya dalam memisahkan Sopan, pada akhirnya Sopan sendiri-lah yang akan pergi mencari-cari keberadaan (Nama) di dalam hidupnya.

Diciptakan oleh dewa tak berarti (Nama) akan tunduk dengan hormat. Setidaknya, itulah karakteristik yang (Nama) miliki. Dewa hanya takut, (Nama) yang tercipta akan melengserkan posisinya sebagai yang paling berkuasa. Alangkah bodohnya.

Yah. Lagipun, (Nama) hanya menginginkan kehidupan yang damai, dengan Sopan— atau siapapun itu saat jiwanya terlahir kembali. Hidup layaknya manusia pada umumnya, makan dan minum, tertawa dan menangis. Kehidupan yang berkali-kali lipat lebih menyenangkan dibanding dengan menguasai suatu hal yang monoton.

Kini, (Nama) memiliki kehidupannya tersendiri.

Dirinya bukan lagi seorang peri, maupun makhluk mitologi. (Nama) akan terus hidup sebagai manusia, walaupun dirinya kekal abadi.

"Ya ampun!" (Nama) memekik.

Ia lantas meletakkan keranjang berisikan kain-kain basah yang habis ia cuci di tepi muara sungai. Bibirnya terus-terusan melontarkan celotehan, sebagaiman seorang istri akan berlaku, "Sudah siang bolong begini pun, masih tidur nyenyak!"

"Sopan! Bangunn. Papileon sudah menunggu, tahu!"

Sopan menggeleng. Jemarinya menggenggam selimut untuk menghilangkan dirinya dari pandangan (Nama), dengan kelopak yang masih terpejam erat. Sopan masih terlalu lelah untuk bangkit dan beraktivitas, dikarenakan urusannya dengan (Nama) semalaman.

"Mhm. Iyaa."

(Nama) mendecak, berkacak pinggang untuk mendalami perannya sebagai seorang istri yang muak dengan perangai si suami.

Papileon menghembuskan nafas gusar. Gadis yang kini telah beranjak dewasa itu meregangkan otot-otot tubuhnya selagi menunggu Sopan untuk bangkit dari alam mimpi. Karena, Sopan menjanjikannya ilmu berpedang tepat pada saat Papileon menginjak usia enam belas tahun. Saat-saat dimana gadis-gadis yang lain berbondong-bondong mengajukan diri untuk melayani para putri-putri bangsawan, Papileon lebih tertarik untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut tentang bela diri. Apalagi, Sopan mengaku cukup menguasai bidang bela diri— walaupun Papileon tak tahu bagaimana Sopan yang seorang pedagang itu bisa mendalami ilmu pedang.

Karena suntuk menyaksikan (Nama) yang tak kunjung berhasil membangunkan Sopan, Papileon jadi harus turun tangan sendiri. Sopan memang tak akan pernah bangun kalau (Nama) yang membangunkan.

"Ayah. Katamu, kita mau berburu rusa untuk menjamu hari kelahiran Ibu," bisik Papileon dengan pelan agar tak terdengar oleh (Nama).

Seketika, Sopan langsung membuka kedua matanya dan melompat turun dari ranjangnya. Tangannya meraih peralatan berburu yang terpajang di dinding rumah, sedangkan yang satunya lekas meraih lengan anak gadisnya.

"Kami pergi dulu, (Nama). Hati-hati di rumah, yaa." Sopan melambai pada (Nama).

"Ckck. Dasar." Papileon memutar matanya dengan malas.

"Sopann!! Sarapan dulu sebelum berangkat!!"

"Kamu suka hadiahnya, (Nama)?"

(Nama) memandangi daging-daging rusa yang dibawa Sopan pulang— entah bagaimana caranya. Dari kuantitasnya, (Nama) meyakini ada sekurang-kurangnya tiga ekor rusa utuh. Sopan ini, sepertinya kekurangan protein karena sudah tak lagi dilayani sebagai pangeran, ya? Keluarga mereka ini hanya terdiri dari tiga orang, dan ketiganya tidak begitu kuat makan dalam porsi yang banyak.

Awalnya sih, (Nama) hendak memarahi Sopan. Karena memburu tiga ekor rusa sekaligus di satu malam sama sekali tak membahagiakannya. Pemborosan. Tetapi setelah Papileon bercerita bahwa Sopan menghadiahi rusa-rusa buruannya itu sebagai hadiah untuk (Nama), (Nama) jadi tak tega.

Dengan mengambil nafas panjang, (Nama) pun mengangguk. "Iya. Terimakasih ya, Sopan. Aku suka sekali."

"Sebenarnya (Nama), aku hendak membeli mutiara perak yang dahulunya merupakan incaran bajak laut Papa Zola. Tapi, untuk membelinya, mereka memintai identitas diri. Jadi, aku tak bisa membelikannya untukmu. Maafkan aku," lirihnya.

Sopan bahkan mengistirahatkan kepalanya pada pundak (Nama) selagi mengadukan alasan tentang mengapa Sopan tak membelikannya batu hias maupun pernak-pernik perhiasan di peringatan kelahirannya— yang entah bagaimana muncul, tak sebagaimana tahun-tahun yang lalu. Memangnya Sopan mengira, (Nama) tak mampu? Tapi ya biarlah. Sopan memang senang membagikan buah tangan, setiap kepergiannya dalam berdagang rempah-rempah.

"Tak mengapa, Cintaku. Asalkan kamu sehat saja, sudah cukup bagiku."

Salahkan (Nama) karena berucap demikian, karena Sopan tak dapat berhenti tersenyum karena perkataan dari orang terkasihnya barusan. Tak peduli berapa kali pun (Nama) mengatakan bahwa (Nama) mencintainya, Sopan masih tetap merasakan debaran di tiap-tiap momen kebersamaannya dengan (Nama). Walaupun telah berlalu berbelas tahun dari waktu pertama kalinya mereka menyatakan cinta.

"(Nama), saat aku terlahir kembali nanti, tolong selamatkanlah aku lagi. Sebagaimana kamu menyelamatkanku di kala aku adalah Solar, di saat aku terlahir sebagai Taufan, dan pada saat kamu menemuiku sebagai Sopan." Sopan mengeratkan pelukannya, pada yang paling terkasih.

"Jangan menelantarkan aku, (Nama). Aku tak peduli pada perintah dewa. Oleh karena itu aku mohon, tunggulah aku," lanjutnya.

"Aku—"

"Mari berakhir sebagai sepasang kekasih di tiap-tiap kehidupanku yang berikutnya, (Nama)."

"Karena aku, tak cukup mendapatkan cintamu hanya dalam satu kehidupan saja."















"Mengharukan sekali, Ayah, Ibu. Maaf mengganggu, tapi aku lapar. Kasihanilah putrimu yang kelaparan ini," Papileon berucap malas.

Savior | Sopan x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang