Kedua kakinya mati rasa. Pandangannya akan dunia menggelap. Bahkan, luka lamanya yang telah lama tertutup kini terluka lagi.
Memang sudah resikonya, menyembunyikan keberadaan dari makhluk yang begitu kental akan kekuatan magis, seumpama dewi. Sopan tahu betul, cepat atau lambat, dirinya akan segera ketahuan menyembunyikan (Nama) dari mata publik. Tapi, tak disangkanya bahwa akan ketahuan di wilayah asing. Dimana, Sopan seharusnya menjalin relasi, dibandingkan menciptakan kericuhan karena terbongkarnya identitas (Nama) yang telah lama hilang.
CRANG!
"Ya ampun," suara dingin itu berucap. "Malang sekali nasibmu, Pangeran cacat."
"Ah.. tidak beretika, ya? Pfft. Tak ada saksi mata, tentu tak mengapa, bukan?" Sindirnya. "Jadi, berhentilah menatapku begitu."
Kedua pergelangan tangannya terkekang oleh gelang besi yang dingin, yang terhubung pada dinding kokoh tembok sel penjara bawah tanah. Mencegah upayanya untuk melarikan diri.
"Kaizo. Sudah saya katakan, tak akan ada gunanya," tegas Sopan.
Wajahnya yang semula tertunduk lemas itu kini terangkat naik, sikap angkuh yang harus ditunjukkan disaat predator menunjukkan taringnya, demi menakuti sang predator itu balik.
"Walaupun nyawa saya adalah bayarannya, tak akan pernah sekalipun saya berikan Sang Peri pada Anda sekalian— orang-orang yang tamak akan kuasa."
Kaizo mengeraskan rahangnya. Nafasnya memburu, diiringi dengan tatapan mencekam yang dipancarkan dari iris matanya yang merah menyala. Dikuatkannya genggaman pada belati besi, yang senantiasa bertengger pada saku celananya. Tangannya yang menggenggam belati itu terangkat naik, yang kemudian dihempaskan menembus jeruji besi tempat Sopan ditahan. Merobek permukaan wajah halus si pangeran— yang bahkan tak mengedipkan mata begitu diserang secara tiba-tiba.
"Lihat, siapa yang berbicara." Kaizo kembali menetralisir emosinya yang semula menggebu-gebu.
"Kau? Mengkritisi aku, heh? HAHA! Sopan," Kaizo menahan tawa. "Kau selama ini menyimpannya seorang diri, hanya demi kepentinganmu sendiri. Dan kau, seolah-olah membuatku sebagai orang jahatnya disini?"
Sopan diam membisu. Tak berdaya dirinya untuk berdusta, ucapan Kaizo memang benar kebenarannya. Kedua tangannya yang menggantung itu terkepal keras, hingga rasanya dapat melukai telapak tangannya.
"Kita— sebagai makhluk fana, membutuhkan keberadaan amerta— yang kekal abadi, yang berkuasa untuk membinasakan monster-monster yang menyerang secara membabi-buta. Tidakkah kau setuju, Sopan?" Kaizo bertanya. Sembari menatap Sopan dari sela-sela jeruji besi yang memerangkap Sopan.
"Sebagai seorang pangeran, kau tentunya harus memikirkan rakyat-rakyatmu. Bukan hanya kepentinganmu sendiri." Kaizo membalikkan tubuhnya, lantas pun beranjak pergi meninggalkan Sopan begitu saja.
Begitukah? Selama ini, salahnya jika menyembunyikan (Nama) demi kewarasan dirinya sendiri?
Memikirkan rakyat-rakyatnya? Disaat mereka bahkan tak menerima kelahiran Sopan? Menyiksanya secara terus-menerus?? Hah.
Ternyata memang, Sopan tak pernah layak untuk menduduki takhta.
—
"—Pan!" Lantunan nada yang terdengar halus, tapi masih terdapat penekanan dalam nadanya. "Sopan!!"
Kedua kelopaknya lantas terbuka. Perlahan menerawang lingkungan jeruji yang gelap gulita, remang-remang cahaya perlahan tersesuaikan oleh matanya, hingga akhirnya Sopan dapat melihat dunia sempit, yang dimana telah menjadi tempatnya selama tiga hari belakangan ini. Lupakan tentang perdagangan, ketiga bawahannya hang seharusnya menemaninya bahkan bersekongkol dengan pihak Kaizo. Meninggalkannya seorang diri. Dikhianati untuk yang entah ke-berapa kalinya dalam hidup yang telah dijalaninya.
"Astaga, dasar rakyat Gogobugi! Mengapa mereka mencederaimu sebegini parahnya?" Celotehan (Nama) memenuhi gendang telinganya. Tangan mungilnya yang menyentuh wajah Sopan terasa dingin, karena rupanya merupakan perwujudan dari air dalam kandungan tubuhnya Sopan sendiri.
Pertahanannya tak terbendung lagi, hingga setitik air mata menuruni permukaan wajahnya. Tangisan bisu itu ialah hasil dari sakit yang dirasakan olehnya. Sakit akan perasaan lelah yang dirasakan hanya demi bertahan hidup. Diliputi perasaan bersalah, karena membiarkan rakyat-rakyatnya hidup menderita dari serangan para monster yang berkeliaran. Tak semua rakyat merupakan tipe petarung, tak semua rakyat bisa menghadapi monster tingkat rendah sekalipun.
"(Nama), maafkan aku.." lirihnya.
Sentuhan (Nama) terhenti. Kedua matanya sedikit membelalak mendengar permintaan maaf dari Sopan. Sopan... selalu saja meminta maaf.
"Kamu kenapa, sayangku? Sakit sekali, ya? Akan aku sembuh—"
"Jangan. Jangan, (Nama). Aku mohon." Sopan menggeleng kuat. Tatapan memelasnya seolah meneriakkan rasa frustasi yang dirasakannya.
"Tapi kamu sakiit, Sopan. Mana bisa aku biarkan kesayanganku menderita kesakitan begini?" (Nama) menghembuskan nafas. Matanya kembali menerawang ruang sempit yang menjadi tempat mendekamnya Sopan, dalam kurun waktu ini.
Sopan.. takut pada kesunyian. Sopan takut akan kegelapan, serta tak menyukai tempat sempit yabg menyesakkan. Tempat ini, sudah terlalu menyiksanya.
Sopan kembali menggeleng, dalam upayanya untuk meyakinkan (Nama), "Nanti, mereka akan semakin gencar mencarimu. Aku tidak.. mau hal itu terjadi."
"Kamu meremehkan aku?"
"(Nama)..."
(Nama) lagi-lagi menghembuskan nafasnya. Rupanya dalam ukuran kecil ini memang tak dapat berbuat banyak, selain menjadi teman berbincangnya Sopan— karena memang itulah tujuan awalnya. Tapi, tak mungkin (Nama) membiarkan Sopan kesayangannya terus-terusan menderita.
"Ayo. Aku akan mengeluarkanmu dari sini," tukas (Nama), yang didapati gelengan singkat dari Sopan.
"Sopan, percaya saja padaku, oke? Baik kamu dan aku, kita semua akan baik-baik saja. Memang kamu pikir, sudah berapa lama aku hidup?" Kekeh (Nama).
Bukan. Bukannya Sopan meremehkan (Nama), sama sekali tidak. (Nama) itu begitu kuat, tapi bukan berarti (Nama) tak dapat merasakan sakit dan lelah, kan? Sopan tak ingin wanitanya yang menanggung sakit. Sebagai lelaki, sudah tugasnya untuk selalu melindungi wanita yang dicintainya. Tak peduli seberat apapun rintangan yang dilaluinya.
Lagipula, kalaupun ingin, Sopan bisa saja melawan. Pada saat prajurit Gogobugi menyerbunya, Sopan bisa membalas balik. Sopan dibesarkan dengan keras oleh Retak'ka, tentunya serangan sepele begitu tak berarti apa-apa untuknya.
Bagaimanapun, posisinya disini hanyalah tamu. Tak berhak dirinya berbuat sesuka hati, berbincang sekehendaknya saja di wilayah orang. 'bak pepatah yang diucapkan, 'Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung,' dimanapun berada, yang pertama kali dilihat dari seseorang ialah adab serta santunnya.
Gogobugi merupakan wilayah yang ketat akan peraturan. Gogobugi juga menjunjung tinggi penetapan kuasa, dimana yang kuat-lah yang berkuasa. Bagaikan rantai makanan, yang lemah harus tunduk pada yang kuat. Posisi tamu di Gogobugi merupakan posisi yang terendah, berada lebih bawah dari rakyat biasa, serta berada tepat satu tingkat di atas budak. Itulah peraturan yang harus dipatuhi.
"Aku berkali-kali lipat lebih kuat dari Ayahmu— Retak'ka, asal kamu tahu. Retak'ka itu tak ada apa-apanya dibandingkan generasinya terdahulu— Emperor Gamma."
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Savior | Sopan x Reader
FanfictionSebuah cerita fiksi Sopan x Reader | Terlahir sebagai seorang pangeran tak lantas menjadikannya bahagia. Dituntut oleh begitu banyaknya ekspektasi seolah menggerogoti kehidupan yang ada dalam dirinya. Pelariannya hanyalah masa-masa dimana keajaiban...