Tapak kaki kuda menyentuh daratan, menciptakan efek suara yang terdengar seperti alunan musik yang diselenggarakan pada saat festival diadakan.
Kelompok berkuda itu hanya terdiri dari tiga lelaki pemberani, dengan seorang pangeran yang memimpin ketiganya.
Perjalanan mereka masihlah jauh— perjalanan yang ditempuh hanya demi melaksanakan kesepakatan dengan kerajaan di seberang wilayah yang ditinggali. Utusan dari penguasa Beliung, tak dapat ditolaknya dengan sesuka hati. Hingga berakhirlah dirinya memimpin kelompok pedagang yang hendak sekalian memperkenalkan produk teh yang merupakan ciri khas dari kekaisaran Baraju.
Tubuhnya tergoyang pada tiap hentakan kaki kuda di tiap-tiap langkah. Terpaan angin yang diterobos olehnya mengakibatkan helaian rambutnya berdansa di udara, membuat jubahnya melambai-lambai, serta mengakibatkan liontin miliknya meloncat kegirangan. Liontin yang didapati dari jerih payahnya, untuk memaksakan kehendaknya, dengan mempergunakan buliran air matanya untuk memperoleh kerendahan hati dari sang dewi.
Tanpa disadari oleh siapapun di tengah perjalanan ini, kehangatan mulai bersemayam di kedua pipinya, senyumannya yang begitu lebar, hingga rasanya dapat mencapai daun telinganya sendiri. Kerisauan hatinya telah teratasi, karena permohonannya yang dikabulkan hanya dengan sedikit usaha darinya. Benar-benar anugerah terindah dari dewi-nya.
Sopan menyentuh permukaan liontin yang terus-menerus bertabrakan dengan dada bidangnya, mengelus permukaannya dengan penuh kasih, sebelum akhirnya mengecup singkat permata dari liontin yang dikenakannya.
"Pemandangan dari indahnya semesta ini, akan ku persembahkan untukmu, dewi-ku."
—
Perjalanan untuk menuju ke wilayah Gogobugi memang tak dekat. Tak cukup waktu untuk menerjang gelapnya malam untuk sampai pada kediaman yang dimaksudkan.
Netra dari pangeran Baraju itu mendarat pada penerangan minim di sebalik hutan rindang. Terlihat layaknya tanda-tanda adanya kehidupan dibalik pohon suram itu.
Tanpa basa-basi maupun instruksi apapun untuk yang lainnya, Sopan melajukan laju kudanya hingga sampailah dirinya pada pedesaan yang tak begitu mewah. Terlalu sederhana untuk dikatakan sebagai sebuah pedesaan, dikarenakan hanya terdapat beberapa perumahan dengan penduduk yang tak sepadan jumlahnya.
Sopan melompat turun dari kudanya, dan menuntun kudanya untuk memasuki pekarangan desa. Tak ingin dirinya membangunkan— ataupun mengganggu ketenangan penduduk setempat hanya karena suara dari tapak kuda yang berisik itu.
Kedatangannya disambut oleh Tetua desa. Dengan tongkat kayu yang menuntun jalannya, Tetua itu perlahan menghampiri Sopan yang berukuran tubuh dua kali lipat darinya.
"Bagaikan rongsokan yang tak lagi diperlukan. Itulah penggambaran yang paling tepat untuk desa kami." Tetua itu terbatuk-batuk, "Jadi jika memungkinkan untuk bertanya, apa yang membuat Anda datang kemari?" Lanjutnya.
Sopan sedikit menundukkan kepala sebagai rasa hormat, untuk disambut dengan elok bahkan pada saat bulan kini menguasai langit.
"Tak ada alasan khusus. Saya disertai dengan kawanan, hendak berdagang. Tapi tampaknya, kami tak terkejar oleh waktu untuk memasuki pusat perkotaan untuk menginap disana." Sopan mengutarakan itikadnya.
"Sudikah Tuan memperizinkan saya dan kawanan untuk bermalam di desa ini?" Tanya Sopan, selagi melirik ke arah anak-anak kecil yang tampaknya menguping pembicaraan.
Tetua itu mengeluarkan tawa lemah. Lengannya terbuka, untuk menggesturkan ketersediaannya dalam menampung tamu di larut malam ini. "Selamat datang, di gubuk tua yang tak seberapa ini. Harap-harap, setidaknya lebih baik dirasa dibanding bermalam di luaran sana."
"Saya Papiliam. Panggil saja.. Tok Liam. Kepala desa disini. Jikalau ada perlu apa-apa, silahkan panggil saya." Tok Liam mulai beranjak, memimpin tur ke dalam rumah yang tak terletak begitu jauh.
Sopan dan ke-tiga bawahannya mengikuti dalam diam. Ke arah kemana Tok Liam membawa mereka ke dalam rumah sederhana yang tampaknya merupakan huniannya.
"Terimakasih atas kemurahan hati Anda. Saya— Sopan, mewakili rasa terimakasih yang sebesar-besarnya untuk fasilitas yang Anda berikan, Tok Liam." Di tengah-tengah turnya, Sopan berucap, karena yang lainnya hanya diam membisu.
"Haha. Tak perlu formalitas begitu. Disini, semua orang adalah keluarga. Anggap saja seperti rumah sendiri."
—
Paku dipalu, bilah gergaji bertubrukan dengan permukaan kasar dari kayu. Dengan memanfaatkan pokok yang tumbang, Sopan beserta dengan bawahannya merenovasi rumah-rumah para penduduk yang dikatakan ambruk— oleh seorang gadis kecil yang menghampiri mereka di pagi-pagi buta, karena terpaan angin badai yang mengisi kekosongan di malam hari.
"Nah. Dengan begini, Anda tak perlu risau di kala badai menerpa." Sopan meyakinkan penduduk itu.
"Te-terima kasih.." balas di penduduk.
"Ah? Mengapa kalian malah memperkerjakan tamu kita ini? Biarlah itu kami yang atasi. Tak sepatutnya memintai tolong tamu yang bermalam di desa, Papileon." Tok Liam menghampiri gerombolan kerumunan, seraya menatap heran pada cucu perempuannya— Papileon.
Papileon, gadis cilik dengan tatapan setajam elang itu menekuk alis. Pastinya sebal karena kakeknya tak mengapresiasi siasatnya dalam mempekerjakan para pemuda.
"Tok Liam, lihatlah para penduduk di desa ini. Semuanya sudah berumur dan tak lagi bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat. Lagipun, hanya ada para orang tua dan anak-anak di desa ini." Papileon mengarahkan telapaknya pada kawanan gadis cilik yang lain. "Tak seharusnya kita menyia-nyiakan kesempatan."
"Kendati demikian, tak beradab untuk meminta pertolongan atas dasar paksaan, Papileon." Tok Liam melirik Sopan yang hanya menampilkan senyumannya. "Kamu pasti mengatakan bahwa inilah biaya atas bermalamnya mereka, bukan?"
Papileon memperdalam kerutan di dahinya.
"Tak mengapa, Tok Liam. Saya sama sekali tak keberatan. Hal sepele semacam ini, tak perlu diperbesarkan. Anggaplah ini sebagai balas budi kami," ucap Sopan. Tubuhnya itu melindungi Papileon bersembunyi di sebalik tubuh kekarnya.
Bagi Sopan, gadis cilik yang bernama Papileon itu justru amat bijaksana dalam memanfaatkan peluang. Dibandingkan dengan Tetua desa yang menjunjung tinggi norma, maka Papileon lebih mengutamakan kenyamanan dari para penduduk desa. Gadis itu memiliki jiwa seorang pemimpin.
"Haish." Tok Liam memijat keningnya. "Kalau sudah Anda yang berkata demikian, apa boleh dikata. Kali ini kamu Tok maafkan, Papileon. Tapi seterusnya, jangan diulangi lagi. Tok tak pernah mengajarkan kamu untuk menyebabkan ketidaknyamanan bagi para pengunjung."
"Ya, Tok Liam. Saya hanya menginginkan yang terbaik untuk desa kita," Papileon menanggapi.
Sopan menerbitkan senyum lega. Syukurlah, perkaranya dapat diselesaikan tanpa memperbesar masalah.
"Kalau begitu, kami izin pamit. Rasa-rasanya, kami tak lagi dapat mengulur waktu keberangkatan," Sopan berucap demikian.
Lengannya terangkat, gestur agar salah satu dari bawahannya itu mendekat dengan hasil buruan yang ditangkap Sopan saat fajar.
"Kebetulan," ucapannya sengaja diberhentikan. Membiarkan hasil buruannya— berupa dua ekor rusa, terbaring di daratan tepat di hadapan Tetua dan cucu-cucunya.
"Saya mendapatkan buruan yang mungkin dikata cukup untuk porsi makan siang bagi seluruh penghuni."
"Harap-harap, dapat membalas kebaikan budi tuan-tuan sekalian."
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Savior | Sopan x Reader
FanficSebuah cerita fiksi Sopan x Reader | Terlahir sebagai seorang pangeran tak lantas menjadikannya bahagia. Dituntut oleh begitu banyaknya ekspektasi seolah menggerogoti kehidupan yang ada dalam dirinya. Pelariannya hanyalah masa-masa dimana keajaiban...