Chapter 9

110 26 2
                                    

"Pagi, Nak Sopan."

Sopan mendongak, mendapati warga desa yang kini sudah mulai mengakrabkan diri dengan kehadirannya yang tak diundang di desa pelosok ini. Dengan ragu, Sopan mengangguk dan mengulas senyuman tipis. Sopan masih tak enak hati karena sudah merepotkan tak hanya satu-dua orang penduduk desa.

Kakinya kembali melangkah, dalam upayanya mencari presensi dewi kesayangannya. (Nama) tak dapat ditemui seusai Sopan mendapatkan kecupan tiba-tiba saat itu. Liontin yang (Nama) berikan juga tak dapat digunakan, karena (Nama) tak merespon panggilannya. Lagipula dengar-dengar, ada sumber mata air yang muncul secara ajaib di desa. Sopan yakin bahwasanya keajaiban itu terjadi karena ulah sang dewi.

"Kak Sopan! Selamat pagiii!!"

"Pagi juga." Sopan kembali mengangguk. Benar-benar tak disangka bahwa seluruh penduduk kini telah mengenalnya. Sopan benar-benar berhutang budi.

"Eh? Ya ampun, Sopan! Kenapa berkeliaran kemari? Sudah kukatakan untuk istirahat secukupnya, bukan? Aduhai, anak ini!" (Nama). Itu (Nama) yang berucap, Sopan yakin.

Tapi mengapa (Nama) membaur dengan para penduduk desa? Mengenakan pakaian biasa serta menguncir untaian rambutnya itu? Apakah pada akhirnya Sopan tak lagi bisa menyembunyikan (Nama) untuk dirinya seorang? Ah, tidak. (Nama) memang merencanakannya. Kecupan manis (Nama) kemarin malam itu berisikan rapalan mantra untuk membuat luka-luka Sopan sembuh, serta untuk membuat Sopan terlelap dalam sisa hari.

(Nama) memang selalu melakukan semuanya seorang diri.

Sopan menghela, tatapannya ragu-ragu bertemu dengan tatapannya (Nama). "Aku merindukanmu."

"Oh!!" Papileon memekik. Saat pekikannya itu mengundang perhatian dari dua orang dewasa di hadapannya— (Nama) dan Sopan, Papileon menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. "Ups. Jangan hiraukan aku."

(Nama) menundukkan wajahnya menyamai tinggi dari si gadis kecil, Papileon. Rambutnya yang lolos dari kuncirannya itu diselipkan di belakang daun telinganya, selagi (Nama) tersenyum manis memandangi si cucu dari kepala desa. Sopan benar-benar tak rela (Nama) memamerkan senyumnya ke orang selain dirinya. Tapi apa boleh buat, Sopan tak berhak melarang-larang (Nama) sesuka hati.

"Papileon," (Nama) mengelus rambut kasar dari gadis yang dipanggil namanya itu. "Berikan kami waktu berdua, ya."

Memahami apa maksud dari perkataan (Nama), Papileon mengangguk dengan wajah berseri-seri sebelum akhirnya berlari meninggalkan Sopan dan (Nama). Sopan rasa, gadis itu mengambil kesimpulan yang salah. Tapi ya sudahlah. Sopan tak begitu menghiraukannya.

"Mhm. Satu anak sudah beres, sekarang tinggal seorang lagi." Tatapan mata (Nama) menuju pada arah Sopan. Sopan mengernyitkan dahinya.

"(Nama), aku sudah dewasa. Berhenti memperlakukanku bagaikan anak kecil."

Tak menghiraukan perkataan Sopan, (Nama) malah membawanya di gubuk terdekat, serta mendudukkan Sopan di bangku pahatan dari kayu.

"Iyaa, iyaa. Aku mengerti," canda (Nama). Sopan tahu, (Nama) tak benar-benar mengerti.

Walaupun tak suka diperlakukan bagaikan anak kecil, tetapi memperhatikan (Nama) yang tertawa lepas karenanya, melegakan hatinya. Sudah dikatakan bahwa cinta itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, dapat menjadi pelarian dari perasaan emosional yang lainnya, karena perasaan cinta yang begitu mendominasi. Akan tetapi, di sisi lainnya, cinta itu membutakan logika. Tak peduli dosa apa yang diperbuat, atas dasar cinta yang dirasakan begitu dahsyat dibandingkan kemampuan untuk berpikir berdasarkan logika.

Tak perlu berpikir terlalu jauh, kasus Sopan sendiri telah berada di depan mata. Sisi positifnya, karena cinta yang dirasakan oleh anak kecil sepertinya itu menjadi tujuan serta pendirian yang kokoh baginya. Di sisi lain, demi cintanya itu sendiri, Sopan rela mencampakkan posisinya sebagai seorang pangeran. Tempat sebagai pewaris takhta yang telah lama diincarnya— demi mengamankan hidupnya.

"(Nama). Bolehkah.. aku bertanya?"

(Nama) memiringkan wajahnya terkait pertanyaan Sopan. "Tentu. Mau tanya apa?"

Kalau memerlukan perizinan dari narasumber, sudah pasti pertanyaannya mengandung hal yang mungkin akan mengakibatkan ketidaknyamanan bagi si penjawab.

Sopan kian menggenggam erat fabrik kain dari pakaian yang dikenakannya. Kepantasannya untuk menanyakan hal-hal pribadi mengenai sang dewi tentunya patut dipertanyakan. Akan tetapi, rasa penasaran lebih memiliki kuasa atas dirinya.

"Aku penasaran. Di sepanjang hidupmu, adakah masanya kamu mempunyai kekasih? Maksudku, peri itu menyerupai manusia, bukan? Manusia itu makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya demi bertahan hidup. Makanya aku.. penasaran, (Nama). Aku tak bermaksud yang lain, sungguh," Sopan bercerita panjang lebar.

"Pft—! Kamu malu, lagi? Ya ampun!" (Nama) kembali menertawakannya. "Menakjubkan rasanya menyaksikan kedua pipimu memerah karena membicarakanku."

Tanpa perkataan lebih lanjut, (Nama) kini sudah memegangi kedua sisi wajah Sopan. Bermain-main dengan lemak yang menggumpal di sisi wajahnya yang sesuai perkataan (Nama)— kini memerah padam. Kalau boleh, Sopan ingin menyembunyikan wajahnya agar tak dianggap sebagai bocah lelaki oleh (Nama) tersayangnya. Tapi permasalahannya, (Nama) menyukai tiap detil dari perilakunya. Hal itulah yang membuat Sopan semangat dalam menjalani hidup.

Sopan memasrahkan diri. Selama (Nama) bahagia, maka Sopan rela melakukan segalanya. Termasuk meninggalkan kehidupannya sebagai bangsawan. "(Namaaa). Kamu belum menjawab pertanyaanku."

Setelah dirasa puas bermain-main dengan wajahnya Sopan, (Nama) membenarkan postur tubuhnya. Lengannya yang satu merangkul Sopan beristirahat dalam dekapan hangatnya, memberikan kenyamanan bagi pangeran yang tak lagi menganggap dirinya sebagai seorang pangeran.

"Ceritanya terlalu panjang untuk diceritakan, Sopan. Kamu tak akan menyukainya."

"Tak mengapa. Aku, aku bersedia mendengarkan. Walaupun ceritanya memakan waktu satu malam lamanya, (Nama). Asalkan itu kamu, aku tak masalah," jawabnya.

Lengan (Nama) yang merangkulnya, kini menepuk-nepuk pundaknya. Berbahaya. (Nama) hendak menidurkan Sopan lagi. Benar-benar tega (Nama) menggantung pertanyaan Sopan sedemikian rupa, walaupun Sopan sudah memberanikan diri untuk menanyakan tentang kehidupan pribadi sang pujaan.

"Aku tidak mau tidur. Kamu terlalu sering menyuruhku tidur, hanya karena kamu tak mau menjawab pertanyaanku, (Nama). Aku tidak bodoh untuk tidak menyadarinya," Sopan berucap ketus. Tak adil rasanya, bila (Nama) sudah mengetahui tiap-tiap kepahitan dalam hidupnya. Sedangkan, Sopan sma sekali tak mengetahui kehidupan macam apa yang telah dilalui oleh (Nama) itu sendiri.

"Ah? Ketahuan, ya?" (Nama) mengeratkan pelukannya. Dapat dirasakan oleh Sopan, (Nama) menyenderkan kepalanya di atas kepala Sopan yang bertumpuan pada pelukannya (Nama). "Baiklah, baiklah, Pangeranku. Harus kita mulai dari mana dongeng kali ini?"

Pangeran, sudah lama Sopan tak mendengar panggilan itu. Disini, para penduduk desa memang tak mengetahui posisinya sebagai pangeran wilayah Baraju, karena Sopan memang tak berkeinginan memberitahukannya. Lagipula, Sopan lebih menyukai suasana hangat nan sederhana milik desa ini. Walaupun dilanda oleh begitu banyak rintangan, para penduduk masih merangkul satu sama lainnya dengan riang gembira. Tanpa mempedulikan pengkhianatan maupun perpecahan.

Lingkungan yang begitu pas untuk ditinggali, bersama dengan yang terkasih.

"Semuanya. Ceritakan padaku tentang hidupmu, (Nama). Secara keseluruhan."

"Oh? Mengapa kamu begitu menuntut, Pangeran kecil? Kamu mulai berani, ya," (Nama) menggodanya. Sopan sudah begitu mengenali tindak laku dari peri di pelukannya ini.

Ingin mendapatkan kenyamanan yang maksimal, Sopan membaringkan dirinya pada pangkuan dewi yang selalu dipuja-puja. Dengan kelopaknya yang tertutup— karena Sopan tahu, (Nama) hanya akan kembali menggodanya lebih lanjut saat netra mereka bertemu.

Karena memang bukan kali pertamanya Sopan berbaring nyaman di pangkuan (Nama), tak ada lagi keraguan bagi (Nama) untuk mengelusi kepala pangeran dengan iris mata percampuran antara warna biru langit dengan jingga.

"Tentu aku berhak penuh atas dirimu, (Nama). Kamu—" Sopan menggigit bibirnya. Alisnya menekuk saat Sopan menyipitkan matanya untuk memperhatikan dengan jelas raut wajah (Nama), karena tiba-tiba saja Sopan kehilangan keberaniannya dalam menyatakan alasan di balik penuntutannya.

"—Kamu kan, sudah berjanji untuk menjadi milikku."

Savior | Sopan x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang