Bab 9: Hati yang Membeku, Jiwa yang Membara

2 5 0
                                    

Di lorong panjang istana yang dingin, Althea berjalan dengan langkah tenang, mengitari pahatan-pahatan indah yang berbaris di sepanjang dinding. Udara di Kerajaan Es terasa semakin menusuk, lebih dingin dari biasanya. Namun, bukan hanya cuaca yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang gelap dan mengintai, bayangan yang selalu dia rasakan di sudut-sudut penglihatannya.

Althea berhenti di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke luar istana. Matanya tertuju pada hamparan salju yang tak berujung, namun pikirannya ada di tempat lain. Sejak ia tiba di Kerajaan Es, segalanya terasa aneh, seperti ada kekuatan yang mencoba menariknya masuk ke dalam kegelapan.

Suara langkah-langkah mendekat dari belakang membuat Althea berbalik. Kael berdiri di sana, tangannya terlipat di depan dada, matanya seperti biasa, penuh kehati-hatian dan dingin.

“Kau sudah terlalu lama di luar,” kata Kael singkat. “Kau bisa sakit.”

Althea tersenyum samar, berusaha memecahkan suasana canggung yang sering kali muncul di antara mereka. “Aku tak apa-apa, Kael. Aku hanya memikirkan sesuatu.”

Kael mendekat, menatap keluar jendela di sampingnya. “Apa yang kau pikirkan?”

Althea ragu sejenak sebelum menjawab. “Aku merasa ada sesuatu yang salah di sini, sesuatu yang... jahat. Aku bisa merasakannya, meskipun aku tidak tahu pasti apa itu.”

Kael mengerutkan kening, matanya bergerak mencari-cari di luar jendela seakan ingin memastikan bahwa tidak ada ancaman yang mendekat. “Kau berbicara tentang ancaman dari luar?”

Althea menggeleng pelan. “Bukan ancaman yang bisa kita lihat dengan mata telanjang. Ini lebih seperti... sebuah kehadiran. Sesuatu yang mengintai, menunggu momen yang tepat untuk menyerang.”

Kael terdiam, wajahnya tetap keras, meski Althea melihat sedikit perubahan di matanya. “Aku tidak merasakan apa-apa,” katanya akhirnya, meskipun ada keraguan dalam suaranya.

Althea menatapnya dalam-dalam. “Kau mungkin terbiasa dengan dingin dan gelap di sini, Kael. Tapi aku? Aku datang dari Kerajaan Sihir Agung, tempat di mana kehangatan dan cahaya selalu ada. Ini bukan sekadar soal kedinginan. Ini soal sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”

Kael menatap Althea dengan ekspresi datar, tapi Althea bisa merasakan bahwa kata-katanya mulai meresap. Ia kemudian berpaling sejenak, seolah sedang berpikir keras.

“Aku tahu kau tidak suka membicarakan perasaan,” lanjut Althea pelan, “tapi kau tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi di sekitarmu. Aku bisa merasakannya, dan aku yakin kau juga bisa.”

Kael tampak bingung untuk beberapa saat, namun akhirnya dia menghela napas panjang. “Kau tidak salah. Ada sesuatu yang berubah di kerajaan ini sejak beberapa bulan terakhir. Tapi aku pikir itu hanya masalah politik, bukan sesuatu yang... supernatural.”

“Mungkin,” jawab Althea dengan lembut. “Tapi apa pun itu, kita perlu berhati-hati.”

Mereka berdua terdiam untuk sesaat, menatap hamparan salju di luar. Udara terasa semakin dingin, meski tidak ada angin yang berhembus. Althea menggigil sedikit, dan tanpa banyak kata, Kael melepas jubahnya dan menyampirkannya di pundak Althea.

"Terima kasih," bisik Althea, tersentuh oleh sikap kecilnya. Ia tahu Kael tak pernah pandai mengekspresikan perasaannya, tapi gestur sederhana ini membuatnya merasakan kehangatan yang tak pernah ia bayangkan bisa datang dari sang pangeran es.

Kael hanya mengangguk, lalu berkata dengan suara pelan, “Aku tidak tahu bagaimana kita harus menghadapi ini. Kau punya kemampuan yang jauh lebih halus daripada yang aku miliki. Aku terbiasa menghadapi musuh dengan pedang dan kekuatan es, bukan dengan hal-hal tak terlihat.”

The Winterspell: Putri Kerajaan Sihir Agung dan Pangeran Negeri EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang