Bab 2: Pangeran dari Negeri Es

9 7 0
                                    

Kaelith Nivek Thalvian, atau lebih sering dipanggil Kael, berdiri tegak di atas balkon istana yang menjulang tinggi, memandang hamparan es dan salju yang tak berujung di hadapannya. Angin dingin musim semi khas Kerajaan Es berhembus, menggigit kulitnya meskipun jubah tebal berwarna kebiruan membungkus tubuhnya. Di negeri ini, dingin adalah sesuatu yang tak bisa dihindari, seperti warisan yang tak bisa ditolak.

Dari kecil, Kael selalu diingatkan akan satu hal oleh ayahnya, Raja Arcturus, bahwa kekuatan itu datang dari kontrol, dan kontrol hanya bisa dicapai melalui disiplin tanpa emosi. Itu adalah prinsip yang selalu dipegang teguh di Kerajaan Es, di mana para bangsawan tumbuh menjadi individu yang tak terpengaruh oleh emosi atau kehangatan.

"Kaelith," suara berat dan tegas tiba-tiba memecah kesunyian. Kael menoleh, melihat sosok tinggi dan berwibawa yang melangkah mendekat. Ayahnya, Raja Arcturus, dengan mata yang dingin dan penuh otoritas, memandang anaknya dengan tajam. "Apa yang kau lakukan di sini, berdiri sendirian?"

"Aku sedang berpikir, Ayah," jawab Kael dengan tenang.

Raja Arcturus melipat tangan di dada, ekspresi wajahnya tak berubah. "Kau tahu, berpikir terlalu banyak bukanlah sifat yang kuharapkan darimu sebagai penerus takhta. Dunia ini membutuhkan tindakan, bukan perenungan tanpa arah. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"

Kael menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan perasaannya yang sebenarnya. "Tentang perjanjian kuno dengan Kerajaan Sihir, Ayah. Tentang masa depanku... dan masa depan kerajaan kita."

Mata Raja Arcturus menyipit sedikit. "Perjanjian itu bukan sesuatu yang harus dipertanyakan. Ini adalah takdir yang telah diatur sejak lama. Keseimbangan antara kita dan Kerajaan Sihir harus tetap terjaga. Jika tidak, dunia kita akan runtuh dalam kekacauan."

"Tapi menikah dengan putri yang belum pernah aku temui? Aku bahkan tidak tahu bagaimana kehidupannya, atau seperti apa dia. Bagaimana jika-"

"Ini bukan tentang apa yang kau inginkan, Kael," potong Arcturus dengan suara yang semakin dingin. "Ini tentang tanggung jawabmu sebagai pangeran. Kau harus belajar menerima bahwa hidup kita tidak ditentukan oleh keinginan pribadi. Dunia ini tidak memberi tempat bagi keraguan atau kelemahan. Emosi adalah musuh terbesar yang akan menghancurkanmu."

Kael menunduk, merasakan beban kata-kata ayahnya menghantamnya. Sejak kecil, dia telah diajarkan untuk menahan perasaan. Tidak ada ruang untuk kelembutan atau keraguan di kerajaan ini. Raja Arcturus selalu memastikan bahwa putranya tumbuh dengan keras, sesuai dengan tradisi kerajaan yang mengagungkan kekuatan dan ketertiban di atas segalanya.

"Tentu, Ayah," Kael akhirnya menjawab, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan ketidakpastian.

Raja Arcturus memperhatikan putranya dengan tatapan tajam, seakan menilai setiap gerak-geriknya. "Kau akan pergi ke Kerajaan Sihir dalam beberapa hari untuk mempersiapkan pernikahan itu. Aku harap kau akan menjaga martabat Kerajaan Es di sana. Jangan biarkan dirimu terpengaruh oleh kehangatan mereka."

Kael mengangguk. "Aku mengerti."

"Bagus," jawab Arcturus singkat sebelum berbalik dan meninggalkan balkon. Dia selalu seperti itu. Spontan, keras, dan tidak memberi ruang bagi perdebatan.

Kael kembali memandang ke arah hamparan salju yang luas. Di bawah permukaan yang tenang dan beku, ada banyak hal yang bergejolak di dalam dirinya. Dia tumbuh di bawah aturan yang ketat, selalu diharapkan untuk menjadi pewaris sempurna yang tidak pernah mempertanyakan perintah. Namun, jauh di dalam dirinya, Kael selalu merasa ada sesuatu yang hilang.

Dia telah belajar bahwa menjadi kuat berarti tidak menunjukkan perasaan, bahwa kontrol adalah segalanya. Tapi sekarang, dengan perjanjian kuno yang akan mengubah hidupnya, dia tidak bisa lagi menahan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya. Siapa Althea Zephyra Morwenna, putri dari Kerajaan Sihir Agung? Bagaimana dia akan menghadapi takdir yang telah ditentukan ini?

Saat Kael tenggelam dalam pikirannya, suara langkah-langkah ringan menghampirinya. Dia menoleh dan melihat Calian, adik laki-lakinya yang lebih muda lima tahun, mendekatinya dengan wajah ceria.

"Kael, kau di sini!" seru Calian, senyumnya hangat adalah sesuatu yang jarang terlihat di istana yang dingin ini.

"Ya, Calian. Ada apa?" tanya Kael, mencoba tersenyum sedikit.

"Aku mendengar kau akan pergi ke Kerajaan Sihir Agung," kata Calian, matanya berbinar penuh antusias. "Itu pasti luar biasa! Kau akan bertemu putri dari kerajaan yang terkenal dengan keajaiban dan sihirnya. Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan di sana."

Kael mengangguk pelan. "Ya, aku akan pergi. Tapi ini bukan perjalanan yang menyenangkan, Calian. Ini tentang tugas."

"Tentu saja, tugas," jawab Calian sambil tertawa kecil. "Tapi tetap saja, kau akan melihat tempat baru dan bertemu orang-orang baru. Bukankah itu menarik?"

Kael menatap adiknya dengan senyum tipis. "Mungkin bagimu, tapi bagiku ini lebih rumit. Pernikahan ini bukan pilihan. Ini takdir yang sudah ditentukan sejak lama, dan aku harus memikul tanggung jawab itu."

Calian menatap Kael dengan rasa empati. "Aku mengerti. Tapi mungkin, kau bisa melihat ini dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin kau akan menemukan sesuatu yang tak kau duga."

Kael tertawa kecil, meskipun tanpa humor. "Kau selalu punya cara untuk melihat hal-hal dengan optimis, Calian. Aku berharap bisa seperti itu."

Calian menepuk bahu kakaknya dengan lembut. "Kau hanya perlu sedikit membuka hatimu, Kael. Mungkin, di sana kau akan menemukan lebih dari sekadar tanggung jawab."

Kael hanya bisa mengangguk, meskipun dalam hatinya dia masih dipenuhi dengan ketidakpastian. Setelah beberapa saat, Calian pamit pergi, meninggalkan Kael sendirian di balkon lagi.

Malam itu, Kael berbaring di tempat tidurnya, pikirannya terus berputar. Pernikahan dengan Althea, perjanjian kuno, tanggung jawab sebagai pewaris Kerajaan Es. Semua ini terasa seperti rantai yang mengikatnya, menahannya dari kebebasan yang dia dambakan. Tapi di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara dua kerajaan. Jika tidak, dunia mereka bisa hancur dalam kekacauan.

Keesokan harinya, Kael berada di aula utama istana bersama ayahnya, Raja Arcturus, untuk mempersiapkan keberangkatannya ke Kerajaan Sihir. Seluruh istana sibuk dengan persiapan, sementara Kael hanya berdiri di tengah hiruk-pikuk itu, merasa seperti seorang boneka yang sedang dipersiapkan untuk dimainkan dalam permainan politik yang rumit.

"Kau sudah siap?" suara dingin Raja Arcturus menyapa Kael.

"Ya, Ayah," jawab Kael singkat.

Raja Arcturus mengangguk, menatap putranya dengan tatapan tegas. "Ingatlah apa yang telah diajarkan padamu. Jangan biarkan dirimu terpengaruh oleh sihir dan kehangatan mereka. Kerajaan Es selalu menjaga ketertiban dan kekuatan, dan kau harus menunjukkan itu di mana pun kau berada."

"Aku tidak akan mengecewakanmu, Ayah," kata Kael dengan tegas, meskipun hatinya masih terasa berat.

Setelah perbincangan singkat itu, Kael dan rombongannya bersiap untuk berangkat menuju Kerajaan Sihir. Angin dingin menghempas wajahnya saat dia melangkah ke atas kereta yang akan membawanya ke perbatasan kedua kerajaan. Ini adalah perjalanan yang akan mengubah hidupnya, meskipun dia belum tahu bagaimana caranya.

Saat kereta mulai bergerak, Kael menatap keluar jendela, melihat hamparan salju dan es yang kini mulai memudar di kejauhan. Di depannya, ada negeri yang dipenuhi dengan sihir dan kehangatan. Sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang dia kenal sepanjang hidupnya.

"Apakah aku benar-benar siap untuk ini?" pikir Kael dalam hati.

Namun, terlepas dari semua keraguan itu, dia tahu bahwa perjalanannya menuju Kerajaan Sihir bukan hanya tentang menjalankan perjanjian kuno. Ada sesuatu yang lebih besar yang menantinya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Bersambung...



The Winterspell: Putri Kerajaan Sihir Agung dan Pangeran Negeri EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang