02

75 19 1
                                    

Perpustakaan kampus selalu menjadi tempat favorit Alisha. Di sinilah dia bisa tenggelam dalam dunianya sendiri, ditemani tumpukan buku dan aroma kertas yang menenangkan. Ia duduk di pojok favoritnya dekat jendela, mengerjakan tugas Psikologi Abnormal.

Kean mengawasi dari balik rak buku, setiap gerakan kecil Alisha tak luput dari matanya. Sudah dua jam dia berdiri di sana, berpura-pura membaca buku tentang analisis perilaku kriminal. Ironis, mengingat dia sendiri sedang mempelajari mangsa buruannya.

Ponselnya bergetar—alarm yang menandakan Alisha biasanya mulai mengantuk pada jam ini. Kean mengetik pesan singkat:

"Lihat ke belakang."

Dia menikmati bagaimana Alisha tersentak kaget, menoleh dengan mata mengerjap bingung. Kean melangkah mendekat, membawa dua cup kopi dari cafe favoritnya.

"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya, meski dia sudah menarik kursi di samping Alisha.

"Tentu," Alisha menggeser tumpukan bukunya dengan gugup, beberapa hampir terjatuh kalau saja Kean tidak sigap menangkapnya.

"Hati-hati," ujarnya lembut, dengan sengaja membuat jemarinya bersentuhan dengan tangan Alisha saat menyerahkan buku-buku itu. Dia merasakan gadis itu sedikit tersentak mundur.

"Terima kasih," Alisha merapikan rambutnya dengan canggung—gerakan defensif yang membuat sudut bibir Kean berkedut geli.

"Sedang mengerjakan apa?" tanya Kean, meski dia sudah tahu persis tugas apa yang sedang dikerjakan Alisha. Dia bahkan tahu gadis itu baru menyelesaikan tiga dari lima halaman yang diminta.

"Paper untuk kelas Psikologi Abnormal," Alisha menjawab pelan. "Tentang OCD."

"Kebetulan sekali, aku juga sedang mengerjakan itu," Kean meletakkan satu cup kopi di depan Alisha.

"Untukmu."

"Eh?" Alisha menatap cup itu ragu.

"Terima kasih, Kean."

Hening yang canggung mengisi udara di antara mereka. Alisha kembali menekuni tugasnya, sesekali mencuri pandang ke arah Kean yang tampak fokus dengan laptopnya sendiri. Yang tidak Alisha tahu, layar laptop Kean menampilkan folder berisi foto-fotonya—hasil pengintaian selama berbulan-bulan. Alisha di kantin, taman kampus, tertidur di perpustakaan, dan Alisha yang sedang berjalan pulang ke kostnya.

"Um," Alisha memecah keheningan. "Apa aku boleh melihat referensimu?"

"Tentu," Kean tersenyum, mengeluarkan beberapa jurnal dari tasnya. Jurnal yang sengaja dia siapkan, siapa tahu Alisha akan membutuhkannya.

Jemari mereka kembali bersentuhan saat Kean menyerahkan jurnal itu. Kali ini dia membiarkan sentuhan itu bertahan sedikit lebih lama, merasakan bagaimana Alisha menarik tangannya dengan gugup.

"Terima kasih lagi," gumam Alisha, wajahnya sedikit merona.

"Kau tampak lelah," Kean berujar setelah beberapa saat. "Kurang tidur?"

"Ya, belakangan ini aku sulit tidur," Alisha menghela napas. "Aneh, padahal biasanya aku tidur dengan nyenyak."

Tentu saja, pikir Kean. Sulit tidur nyenyak ketika ada seseorang yang mengendap masuk ke kamarmu setiap malam, mengamatimu dalam diam, menyentuh barang-barangmu, meninggalkan jejak halus yang bahkan tidak kau sadari.

"Ada masalah?" tanya Kean, nada suaranya penuh perhatian.

Alisha menggigit bibir ragu—kebiasaan yang membuat mata Kean menggelap sesaat.

"Entahlah," Alisha akhirnya menjawab. "Kamarku... terasa aneh?"

"Aneh bagaimana?" Kean menegakkan tubuh, pura-pura tertarik meski jantungnya berdebar lebih kencang.

"Seperti... ada yang berbeda? Tapi aku tidak bisa menjelaskan apa. Kadang bantalku ada di sisi yang berbeda, atau bukuku tidak di tempat yang kuingat terakhir kali... mungkin aku yang pelupa?"

Ya, kau memang pelupa, sayang, Kean tersenyum dalam hati. Terlalu sibuk dengan duniamu sendiri hingga tidak menyadari bahwa aku selalu di sana. Menggeser bantalmu sedikit, menandai halaman bukumu, meninggalkan jejak parfumku di sudut kamarmu.

"Atau mungkin ada penguntit?" Kean menggoda, menikmati bagaimana Alisha langsung bergidik.

"Jangan menakutiku!" Tanpa sadar Alisha memukul lengan Kean pelan. "Lagipula tidak mungkin ada yang bisa masuk. Pintuku selalu kukunci."

Oh, andai kau tahu, pikir Kean. Tangannya meraba kunci duplikat di saku celananya. Kunci yang memberinya akses ke dunia pribadi Alisha setiap malam.

"Tapi terkadang aku mencium wangi parfum yang tidak kukenal," Alisha melanjutkan. "Wangi maskulin yang asing, tapi mungkin saja itu dari tetangga."

Kean menyesap kopinya, menyembunyikan senyum di balik cangkir. Parfum Bvlgari Man in Black - parfum yang sengaja dia semprotkan di setiap sudut kamar Alisha, menandai teritorinya seperti predator menandai mangsanya.

"Kalau takut, telepon saja aku," Kean berujar lembut. "Kapanpun."

"Memangnya kau mau datang kalau aku telepon malam-malam?"

"Tentu saja," Kean menatap Alisha dalam-dalam. "Aku akan selalu ada untukmu."

Selalu ada, bahkan saat kau tidak tahu.

Alisha tertawa canggung, lagipula mereka baru mengobrol sejak insiden hilangnya kunci kost. Mana mungkin dia berani menelpon pria itu. "Terima kasih, tapi kurasa aku bisa jaga diri."

Kean tersenyum. Tangan kanannya masih menggenggam cangkir kopi, sementara tangan kirinya meremas kunci di sakunya. Kunci yang nanti malam akan dia gunakan lagi, seperti malam-malam sebelumnya.

"Sudah makan siang?" tanya Kean, mengalihkan pembicaraan.

"Belum, terlalu fokus dengan tugas."

"Mau ke kantin? Aku traktir."

"Eh? Tidak usah."

"Anggap saja balasan untuk teh waktu itu."

Alisha akhirnya mengangguk. Mereka membereskan buku-buku dan berjalan bersama ke kantin. Kean sengaja berjalan sedikit di belakang, mengamati bagaimana rok Alisha berayun lembut mengikuti langkahnya, bagaimana rambutnya berkilau ditimpa cahaya senja.

AnimalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang