3. Alun-alun selatan dan amarahku.

9 2 0
                                    

Aku tidak lagi bisa membedakan mana yang benar-benar tulus atau sedang mempermainkan.

***

Aku sepertinya memang sudah gila. Untuk apa aku datang ke Alun-Alun Selatan? Mau melihat pameran seni dari Angkasa?

Yang benar saja, Disa!

Ayo kembali sebelum kamu bertemu atau Angkasa menemukanmu!

Tapi sepertinya Angkasa sudah pulang, karena sekarang sudah pukul setengah lima. Aku bisa melihat beberapa orang sudah mengangkut lukisannya dan bersiap untuk pulang.

Sekarang waktunya aku pulang, tidak peduli apa kata Pakde kalau beliau melihat aku kembali secepat kilat. Yang terpenting aku sudah datang, 'kan? Dan Angkasa tidak ada.

Walaupun sedikit menyusahkan membawa payungnya, tapi tidak mengapa. Aku akan mengembalikannya nanti di kampus. Aku berbalik badan dengan perasaan yang tenang. Kemudian aku melangkahkan kakiku menuju parkiran.

Beginikah rasanya kalau semesta ikut mendukung?

Wah, terima kasih semesta.

Ku akui, aku memang sudah gila dengan datang kemari. Tapi tidak masalah, aku juga tidak bertemu dengan Angkasa.

"Disa."

Aku mematung saat seseorang yang suaranya ku kenali dengan baik memanggil namaku. Tapi ... bisa saja itu bukan dia, 'kan? Apa aku hanya berhalusinasi?

"Aku pikir kamu nggak bakal datang," katanya lagi.

Ah, sial!

Aku terlalu cepat menyimpulkan kalau semesta sedang mendukungku.

Aku menghela napas kasar, kemudian membalikkan badan dan menatap Angkasa dengan tatapan datar.

Aku melangkah ke arahnya dan berhenti tepat dihadapannya. Aku menyodorkan payung beserta jaketnya. Angkasa tidak menerimanya, hanya membiarkan tanganku menggantung di udara sembari memegang payung dan jaketnya.

Aku kembali menyodorkannya lebih dekat hingga tanganku sudah menyentuh kaosnya. Angkasa menatapku kemudian dengan ragu mengambil payung dan jaketnya.

Setelah Angkasa mengambil barangnya, aku mundur selangkah agar tidak terlalu dekat.

"Tugasku sudah selesai, 'kan? Kalau begitu aku pul-"

"Tidak, jangan pulang dulu," potong Angkasa dengan cepat.

Aku mengernyitkan kedua alisku, "Kenapa? Aku sudah mengembalikan barangmu sesuai permintaanmu dengan aman. Lalu apalagi?" kataku dengan sedikit tidak sabar.

"Kamu belum melihat pamerannya."

"Memangnya masih ada? Beberapa stan sudah tutup dan beberapa lagi sudah bersiap untuk pulang. Kamu juga sudah ingin pulang, 'bukan? Jadi—"

"Aku belum ingin pulang, aku menunggu kamu." Angkasa lagi-lagi memotong perkataanku.

Tapi aku tertegun mendengar perkataan dari Angkasa.

Menungguku?

"Menungguku? Hah?! Yang benar saja!" ujarku sedikit menyeringai.

"Aku benar-benar menunggu kamu, Disa. Aku ingin memperlihatkan lukisanku."

Angkasa tersenyum, dan aku merasa senyumnya benar-benar sangat tulus.

Aku jadi merasa bersalah karena bersikap kurang sopan. Aku terdiam sejenak, menimbang haruskah aku ikut dengan Angkasa atau tidak?

November; Bulan Di Mana Cerita Kita DimulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang