4. Kamu dan tatapanmu.

2 1 0
                                    

****

Pakde Tio tidak mengatakan apa-apa saat melihatku masuk ke dalam mobil dalam keadaan yang berantakan. Beliau hanya sesekali melirikku dari kaca spion.

Setelah aku pikir-pikir, aku terlalu berlebihan menanggapi pernyataan suka dari Angkasa. Seharusnya aku bisa lebih tenang dan tidak mendramatis seperti ini. Aku jadi merasa sangat malu setelah mengingat kelakuanku tadi.

Aku mengacak rambutku, frustrasi. Kenapa aku suka melakukan hal-hal yang akan membuat malu diriku sendiri, sih?

Opening drama queen of tears mengalun dari ponselku. Aku segera membuka tas dan mengambil ponselku kemudian aku menemukan satu panggilan video dari sepupuku yang ada di Makassar; Andi Thana. Tanpa berpikir panjang aku segera mengangkatnya.

"Apa?" kataku dengan sedikit galak karena Andi Thana menghubungiku di waktu yang tidak tepat.

"Wets, santai cika'. Ngapai sai mukamu kusut kayak ndak di setrika." (Wets, santai sepupu. Kenapa muka kamu kusut kayak tidak di setrika)

Aku berdecih sembari memalingkan wajah.

"Habisko diputuskan, kah?"

"Sembarangmu!" balasku dengan galak.

"Sepertinya, iyo. Soalnya tanja-tanjanu sudah menjelaskan semuanya." (Tanja-tanjanu : wajah kamu)

"Kalau ituji mau mu bilang, ku matikan mi deh," putusku.

"Eh, eh, tidak begitu cika'. Jangan mo'jo-mo'jo, Andi Arung. Santai saja kayak di pantai." (mojjo-mojjo : ngambek)

Aku menghela napas pelan.

"Kenapa ko video call ka pale?"

"Kabar gembira!!!!!!"

Aku memandangi dengan datar layar yang menampilkan wajah Andi Thana yang begitu sumringah.

"Kabar gembira, Andi Arung!! Minggu depan mauka ke Jogja."

"Hadeh, bukan kabar gembira itu. Kabar buruk," ledekku.

"YAAAAA!" pekik Andi Thana sampai aku harus menjauhkan ponselku. Bahkan Pakde Tio terlonjak kaget mendengar pekikan Andi Thana dari ponsel, untungnya Pakde Tio sudah pro dalam menyetir jadi bahkan saat kaget pun mobil masih berjalan dengan baik-baik saja.

"Pelan-pelan ko! Kaget ki Pakde Tio."

"Eh, maaf-maaf, Pakde Tio. Soalnya, Andi Arung memang pakbal sekali." (Pakbal/pakkaballisi : menyebalkan)

Aku mendekatkan ponselku pada Pakde Tio.

"Tidak apa-apa, Neng. Nanti Pakde sopirin keliling Jogja kalau Neng datang kesini," ucap Pakde Tio yang membuatku mengernyitkan kedua alisku.

"Pakde!" tegurku pada Pakde Tio.

Pakde Tio hanya tersenyum sebagai jawaban.

"Yeyyyy, thank you, Pakde! Memang Pakde ini yang paling terdebest."

"Sama-sama, Neng."

Aku kembali bersandar pada bantal yang terpasang di jok mobil.

"Jujur moko, Andi Arung! Kenapa ko? Kusut sekali muka mu," tanya Andi Thana lagi.

"Ngantukka weh, nantipi lagi, ok? Mau ma juga sampai di rumah."

"Weh—"

Tut.

Belum sempat Andi Thana menyelesaikan perkataannya, aku lebih dulu mengakhiri panggilan video. Aku kembali menyimpan ponselku ke dalam tas.

Ohiya, aku berasal dari Makassar lebih tepatnya Bone. Ayah asli Bone, tapi sejak kecil aku tinggal di Makassar karena tempat kerja Ayah ada di Makassar. Sedangkan, Mama adalah orang Jakarta.

November; Bulan Di Mana Cerita Kita DimulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang