2. Kamu dan seni rupa

5 1 0
                                    

"Dunia itu terlalu kecil, kita bisa bertemu siapa saja secara kebetulan"

***

Bulan November dan Desember berlalu begitu saja tanpa membuat perubahan yang besar terhadap hidupku. Aku masih menjadi Andi Arungidisa Palakka yang tinggal bersama ayahnya yang bernama Aru Palakka dan wanita pelakor serta anaknya yang haram untuk aku sebut namanya.

Aku menghela napas kasar, padahal ini masih terlalu pagi. Seharusnya aku menyambut pagi pertama di tahun baru ini dengan mood yang baik.

Orang-orang menyambut tahun baru dengan penuh harapan, tapi aku sama sekali tidak memiliki harapan. Aku hanya menghabiskan waktu setiap tahunnya karena aku masih hidup. Aku mengedarkan pandanganku, ternyata aku turun dari mobil terlalu jauh dari fakultasku. Akibat aku mengawali hari ini dengan mood yang berantakan membuat aku seperti orang linglung.

Jadinya aku harus berjalan melewati koridor fakultas seni dan agama untuk bisa sampai di fakultasku.

Mataku tidak sengaja menangkap seseorang yang familiar dan membuat langkahku langsung terhenti begitu saja. Aku memicingkan mataku, untuk bisa melihat dengan jelas kalau aku tidak salah orang.

Aku menutup mulutku tidak percaya.

Ya, itu dia!

Pria seni rupa!

Akhirnya aku menemukannya!

Aku memperhatikan bagaimana pria itu melukis bangku panjang bersama teman-temannya dengan raut wajah serius. Sejenak aku hanya berfokus memandanginya hingga pria itu sadar dan menoleh ke arahku.

Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.

Alih-alih pergi, aku malah terdiam seperti ada lem yang merekat di kedua kakiku sehingga aku tidak bisa beranjak pergi. Aku menoleh sebentar, pria itu masih menatap ke arahku sembari tersenyum tipis.

Apa-apaan ini? Kenapa aku tiba-tiba menjadi gugup?

Aku bisa melihat dari ekor mataku, kalau pria itu berdiri dan berjalan ke arahku.

Ah, sial.

Kenapa aku malah terdiam? Aku harusnya pergi!

Aku tersentak dan mundur selangkah karena tiba-tiba pria itu sudah berdiri dihadapanku dengan kuas yang masih tergenggam di tangannya.

Aku membuang muka, tidak menatap ke arah pria itu.

"Apa butuh setahun untuk menemukan aku?"

"Jangan berlebihan, ini baru 2 bulan," kataku.

Pria itu tertawa pelan.

"Menurutku ini sudah setahun, karena saat itu masih tahun 2022 dan sekarang sudah tahun 2023."

Aku mengabaikan perkataannya. Lalu merogoh tas ku dan mengeluarkan jaketnya. Aku menghela napas pelan kemudian menatap kedua matanya.

"Aku tidak pernah membawa payungmu karena terlalu besar untuk aku bawa kemana-mana. Lagipula, aku tidak pernah berpikir kita satu kampus. Dan juga, kamu sangat tidak jelas. Hanya menyebutkan anak seni rupa, memangnya kamu pikir kampus dengan fakultas seni rupa di Jogja hanya satu? Mana mungkin aku bisa menemukanmu!" Aku berbicara panjang lebar dengan menggebu-gebu.

Senyum pria itu kembali mengembang.

Apa yang harus di senyumi? Aku bahkan tidak berbicara dengan manis.

"Kenapa tidak mungkin? Mungkin saja, bukan? Buktinya kamu berdiri lagi dihadapanku. Dunia itu terlalu kecil, kita bisa bertemu siapa saja secara kebetulan."

November; Bulan Di Mana Cerita Kita DimulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang