Ketika keyakinan Mulai Goyah

9 1 1
                                    

Aisyah, seorang gadis religius, dikenal di lingkungannya sebagai sosok yang tegas menolak pacaran dan selalu berpegang pada prinsip-prinsip agama. Keluarganya, terutama dengan sebutan Ummi dan Abi, dikenal sangat islami dan sudah sejak dini menekankan pada Aisyah bahwa pacaran hanya akan membawa dampak buruk. Aisyah tumbuh dengan keyakinan kuat bahwa menjalin hubungan di luar pernikahan adalah sesuatu yang harus dihindari.

Namun, ketika Aisyah memasuki masa kuliah, semua itu mulai berubah. Di kampus, untuk pertama kalinya, ia merasakan perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya—perasaan jatuh cinta. Lelaki yang menarik hatinya adalah Haris, teman sekelasnya. Setiap kali mereka bertemu di kelas atau berdiskusi kelompok, Aisyah merasa hatinya bergetar. Meski ia selalu berusaha mengendalikan perasaannya, semakin hari rasa itu kian sulit ia abaikan.

Aisyah merasa tak kuasa menahan perasaan ini sendirian. Akhirnya, ia memutuskan untuk bercerita kepada sahabat baiknya, Hana, seorang teman yang selama ini menjadi tempat curhatnya. Mereka sering berbagi cerita tentang banyak hal, dan Aisyah merasa hanya Hana yang bisa memahami dilema yang sedang ia rasakan.

Aisyah merasa tak kuasa menahan perasaan ini sendirian. Akhirnya, ia memutuskan untuk bercerita kepada sahabat baiknya, Hana, seorang teman yang selama ini menjadi tempat curhatnya. Mereka sering berbagi cerita tentang banyak hal, dan Aisyah merasa hanya Hana yang bisa memahami dilema yang sedang ia rasakan.

Suatu hari, di sela-sela waktu luang mereka, Aisyah pun memulai percakapan itu dengan ragu-ragu. "Han, aku harus bilang sesuatu...," kata Aisyah dengan suara pelan.

Hana menatapnya penasaran, “Apa? Ceritakan saja.”

Aisyah menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku rasa... aku suka sama Haris, teman sekelas kita. Tapi, kamu tahu sendiri, aku nggak pernah berpikir soal pacaran. Aku nggak bisa cerita ke siapa-siapa lagi, jadi aku ceritain ke kamu. Tapi, tolong jangan kasih tahu siapa pun, apalagi ke orangnya, ya."

Hana tersenyum penuh pengertian dan merangkul bahu Aisyah. “Tenang saja, Syah. Rahasiamu aman di aku. Aku nggak bakal bilang ke siapa-siapa. Ini pasti berat buat kamu, tapi aku di sini buat mendengarkan.”

Jawaban Hana membuat Aisyah merasa sedikit lega. Walaupun hatinya masih berkecamuk, setidaknya ia merasa tidak sendirian lagi dalam menghadapi kebingungan ini.

Aisyah masih merasa gelisah, meskipun sudah menceritakan semuanya pada Hana. Setiap kali melihat Haris, ada perasaan hangat yang merayap di hatinya, dan itu membuatnya takut. "Apakah ini cinta yang sesungguhnya?" pikirnya.

Di satu sisi, Aisyah sadar betul bahwa apa yang ia rasakan tidak sejalan dengan nilai-nilai yang selama ini ia pegang teguh. Di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan getaran yang timbul setiap kali ia berpapasan dengan Haris. Hari-harinya kini diwarnai perasaan cemas dan bahagia yang saling bertabrakan.

Malam itu, saat Aisyah merenung di dalam kamar, ia bertanya-tanya, "Apakah aku telah berubah? Mengapa perasaan ini begitu sulit dihilangkan? Apa yang akan Abi dan Ummi pikirkan kalau mereka tahu aku jatuh cinta?"

Perasaan bersalah menghantui Aisyah setiap kali memikirkannya. Namun, rasa ingin tahu tentang cinta membuatnya semakin tenggelam dalam kebingungan. Ia tidak tahu ke mana semua ini akan membawanya, tapi satu hal yang pasti—kehidupannya tak lagi sama.

ANTARA CINTA DAN IMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang