Memori 4 - Tirani di Atas Pasir (Kuswanoto3)

33 5 0
                                    

Tijah.

"Menjatuhkan vonis penjara untuk kedua terdakwa selama 20 tahun penjara." Disusul suara palu terdengar sebagai tanda bahwa keputusan sudah inkrah.

Tok!

Raut wajah Tijah masih terlihat sedih dan tegang. Berkali-kali ia menyeka air matanya yang mengalir bersama rasa kecewa. Ia sangat berharap kalau pelaku pembunuhan suaminya dijatuhi hukuman mati demi terciptanya keadilan.

Aku pun bergegas bangkit bersamaan puluhan orang lainnya untuk meninggalkan ruang sidang.

Di antara bisik-bisik pengunjung sidang, aku mendengar kalau ia tidak terima dengan keputusan hakim.

"Suami saya mati. Harusnya mereka dihukum mati juga, tidak ada yang boleh hidup."

Aku yang selalu hadir di ruang sidang ini pun merasa turut kecewa atas vonis hakim, menjatuhkan hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa.

"Saya tidak rela, tidak terima kalau hanya dihukum begini. Jumlah mereka yang menganiaya suamiku sebanyak 60 orang. Bila pemimpinnya hanya dipenjara 20 tahun, bisa jadi yang lain disuruh pulang," ujarnya dengan nada bergetar di hadapan puluhan kamera para pemburu berita.

Ingin sekali aku menguatkan hatinya, tetapi aku tak punya keberanian, aku bukan suaminya yang bersuara lantang, aku bukan suaminya yang gigih menentang tambang, tetapi aku selalu berdiri di barisan suaminya untuk menolak tambang pasir ilegal yang merugikan kami sebagai orang kecil, orang yang menggantungkan hidup dari butir gabah yang tumbuh di petak sawah.

Aku hanya membatin, "Ini jelas pembunuhan berencana. Salim sahabatku disiksa dan dibunuh di balai desa, tetapi pelakunya cuma diganjar 20 tahun?"

Cuh!

"Negeri macam apa ini ha!"

Aku segera menyisi saat dua terpidana yang akan digelandang ke jeruji besi berhenti di depan puluhan kamera yang menatap tajam.

Setelah satu wartawan bertanya, satu terpidana itu menjawab, "Tidak pernah menyuruh, tidak seperti itu. Tidak pernah saya merencanakan pembunuhan seseorang."

"Apakah akan menempuh banding?" tanya satu wartawan lainnya.

"Saya akan pikir-pikir atas keputusan itu karena saya tidak pernah menyuruh dan merencanakan pembunuhan Salim Kancil," jawabnya lantas digelandang keluar ruang sidang.

Suasana masih riuh oleh keputusan hakim yang dirasa sangat tidak adil.

Aku menoleh ke arahnya, masih dikerubungi oleh para wartawan yang terus memburunya saat hendak meninggalkan ruangan.

Aku sungguh tak bisa berucap apa pun, lidahku kelu, kakiku serasa terpaku di sisi pintu keluar.

Ingin aku berteriak kepada Tuhan kenapa Ia tak mengulurkan tangannya untuk menyentuh hati para hakim? Apakah Tuhan mendengar kalau dirinya mengharapkan sebuah keadilan atas nyawa suaminya yang dihargai murah daripada harga satu truk pasir?

Ah! Ingatanku kembali pada awal dan peristiwa berdarah yang membuatku melangkahkan kaki berkali-kali ke ruang sidang ini.

****

Salim.

Salim adalah sahabatku. Suaranya yang lantang telah dibungkam dan nyawanya dihabisi oleh sekelompok orang di balai desa. Aksinya yang menentang tambang pasir ilegal di desaku sebenarnya sudah dihalangi beberapa orang, termasuk oleh istrinya, tetapi ia tetap kukuh menentang penambangan pasir itu. Menurutnya sangat mengkhawatirkan kelestarian alam, terlebih ia pernah mengadu kepadaku kalau 8 petak sawahnya hancur akibat penambangan pasir ilegal.

SEPTEMBER HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang