Memori 5 - Bisik Angin di Negeri Itu (nothinhfr)

26 2 0
                                    

Dahulu, anak-anak amat menyukai dongeng serta nyanyian pengantar tidur tentang kemerdekaan—ketika Ibu membisikkan satu dan beberapa hal seperti, "Negeri kita telah merdeka, Nak. Cintailah negerimu sebagaimana Ibu mencintai kalian."

Lantas anak-anak tersebut, yang kini telah menjadi leluhur, berbondong-bondong berteduh ke bawah kanopi dan menunggu Ayah menggendong mereka selepas bekerja dari ladang. Keringat Ayah sebesar butir jagung, pun wanginya melalang buana menuju ingus anak-anak. Namun anak-anak terus diam dan percaya, bahwa janji yang Ibu sebutkan tetap menjadi bagian dari negeri penuh dusta ini.

🙦🙤

Sayup-sayup ia dengar nyanyian camar, berlenggok menggoda pada sekawannya seraya terkikik penuh tawa—yang selalu orang-orang irikan sebab kebahagiaan burung itu tak menulari Negeri Nusantara, sebuah negeri kaya di ufuk timur dunia. Bias jingga Sang Surya memulangkan para camar ke rumah mereka, yang sekali-kali lagi diirikan oleh para rakyat melarat Negeri Nusantara.

Negeri Nusantara, sebuah negeri indah bertakhta alam surgawinya. Nusantara dilindungi oleh seekor burung garuda kuno yang konon terpatri di dalam jiwa pemuda-pemudi bangsa, negeri yang berasaskan lima untaian keadilan. Negeri Nusantara adalah tempat di mana kerajaan-kerajaan pernah berjaya, tetapi kini negeri tercinta milik Makara diwarnai oleh konflik antara penguasa di atas tanduk dan kekuasaannya.

Di sini, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Makara. Ia tinggal pada sebuah desa kecil tempat angin selalu membawa kabar dari kota-kota besar nan jauh di mata. Mungkin hari ini surat sang Domei, mungkin pula besok berita kekacauan yang malah angin bawa. Desa Angin adalah sebuah desa yang selalu diselimuti kabut, sekaligus tempat di mana Makara tumbuh. Makara beranjak remaja dengan cerita-cerita tentang penyelewengan kekuasaan para penguasa yang kerap melanggar hak asasi manusia. Konon, para penguasa bisa mengubah seseorang menjadi bayangan tak berjiwa jika sekali saja melanggar aturan mereka.

Suatu ketika di tengah gejolak api yang muncul dari intrik politik Negeri Nusantara, Makara bertanya pada sang Ibu, Kelora.

"Ibu, pergi ke mana para jiwa yang hilang seraya menyuarakan pendapatnya?" Anak laki-laki tersebut mengedip polos. Kulit kecokelatannya terasa padu dengan rambut hitam legam milik Makara. Senyuman manis Makara diganti oleh kedutan alis yang menukik tajam itu. Ia menatap Kelora penuh tanya, ragu-ragu jikalau pertanyaan ini sekiranya menyinggung. Sebab, rakyat biasa seperti mereka tabu hukumnya menggunjing penguasa Negeri Nusantara yang teramat membingungkan pikirnya. Sayang sekali karena Makara sudah terlanjur kelimpungan penasaran.

Kelora mengelus pucuk rambut anaknya. "Makara, orang-orang yang hilang itu akan kembali sebagai bintang yang hidup di malam hari, membiaskan cahaya bersama harapan untuk kesembuhan negeri kita dari sakit berkepanjangan."

Netra Makara berbinar. Tangan kecilnya mulai meremas ujung kain polos yang ia kenakan. "Aku akan menyembuhkan Nusantara, Ibu."

🙦🙤

Makara tinggal di sebuah desa kecil yang dikelilingi gunung dan laut. Negeri Nusantara adalah tempat di mana kerajaan-kerajaan kuno pernah berjaya, tetapi kini negeri Makara ini diwarnai oleh konflik para penguasa yang haus kekuasaan.

Dahulu di desa itu, orang-orang acap kali berbisik tentang sosok pemberani yang mengorbankan segalanya demi kebenaran—seorang pria tangguh berpendidikan bernama Artanis. Dia dikenal sebagai suara yang tak pernah diam, seorang pembela keadilan yang menentang kebijakan penguasa dan para pengikutnya yang korup. Artanis telah membuka mata banyak orang, ia mengungkap kekejian penguasa kikir di balik tembok istana yang megah itu.

Namun suatu ketika, kabar kematian Artamis tersebar luas. Kabar yang datang seperti angin dingin yang menyusup ke setiap rumah, kabar yang menyisakan perasaan hampa dan takut pada para rakyat pembela hak asasi manusia seperti Artanis.

Artanis tiada. Ia telah mengembuskan napas terakhirnya.

Makara, yang saat itu berusia sebelas tahun, tidak betul-betul paham tentang apa yang terjadi. Namun ia tahu satu hal: Artanis adalah seorang pahlawan. Akan tetapi semua cerita tentang keberanian Artanis yang terus berlanjut tanpa pamrih berhenti mendadak, terlalu mendadak. Artanis dibunuh, dan Desa Angin mulai diselimuti kabut yang aneh. Lantas di pasar, di sekolah, di alun-alun, semua orang membicarakan Artanis. Sosok aktivis pemberani yang menyuarakan pendapatnya pada negeri demokrasi ini bahwa hukum Negeri Nusantara selalu runcing ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Makara tak bisa mengenyahkan rasa penasaran dari pikirannya. Dia sering berdiri di tepi jendela di rumahnya, memandang langit malam, berharap bisa melihat jawaban dari kebingungannya. Langit di Negeri Nusantara penuh dengan bintang yang cemerlang, selayaknya jejak dari orang-orang yang pergi terlalu cepat. Dan dalam bintang-bintang itu, Makara merasa ada sesuatu yang mencoba mengirim pesan kepadanya. Makara bermonolog, "Artanis, jika engkau adalah salah satu bintang di langit malam, kumohon tuntun aku seperti sabitah yang menuntun kapal Ayah."

🙦🙤

Suatu sore saat Makara berjalan di tepi laut, ia bertemu dengan seorang pria tua berpakaian lusuh. Pria itu duduk di atas sebuah batu, memandang lautan dengan mata yang lelah. "Kau tahu tentang Artanis?" tanya pria itu tiba-tiba tanpa menoleh.

Makara terkejut. "Semua orang tahu," jawabnya pelan.

Si Pria Tua tersenyum tipis. "Tapi tidak semua orang tahu kebenarannya."

Makara merasakan bulu kuduknya meremang. "Apa yang kau maksud?"

Pria itu kemudian bercerita tentang malam ketika Artanis menghilang. Ia bukan mati karena kecelakaan, bukan karena penyakit. Artanis diracun, dibungkam oleh orang-orang yang takut pada kekuatan retorikanya. Pria itu adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu rahasia tersebut karena ia pernah bekerja untuk kerajaan, tetapi berbalik melawan mereka setelah melihat betapa kotornya kekuasaan di Negeri Nusantara.

"Di negeri ini," kata pria itu sambil menatap laut, "kebohongan mengalir seperti air sungai yang menenggelamkan kebenaran. Mereka yang berani melawan arus akan dihanyutkan atau dibungkam."

Makara mendengarkan dengan gelisah, tangannya meremas ujung baju yang ia kenakan. "Kenapa kau menceritakan ini padaku?" tanya Makara.

Pria itu menatapnya tajam, seolah tengah menerawang jauh ke dalam jiwa Makara. "Karena kebenaran harus terus hidup. Kau masih muda, dan mungkin, hanya kau yang cukup berani untuk menyebarkannya."

Setelah percakapan singkat tersebut, Makara pulang dengan rentetan pertanyaan eksesif yang menghunjam kepalanya. Ia mulai menyadari bahwa meskipun Artanis telah dibunuh, jejaknya tidak akan pernah benar-benar hilang. Kebenaran yang disembunyikan tengah menunggu seseorang untuk menemukannya kembali.

Hari-hari berlalu, dan Makara mulai memperhatikan sesuatu yang aneh di desa. Ada simbol-simbol yang mulai muncul di tembok-tembok tua, di bawah jembatan, di belakang pasar. Simbol sederhana—sebuah sayap burung dengan mata terbuka di tengahnya. Simbol itu adalah tanda milik Artanis, simbol perlawanan yang tersembunyi di balik hiruk pikuk manusia. Orang-orang mulai berani membicarakan tentang gerakan baru untuk meneruskan perjuangan Artanis.

Namun, bahaya semakin dekat. Penguasa dan para pengikut korporatnya semakin ketat mengawasi siapa pun yang berani menyebut nama Artanis. Setiap simbol yang ditemukan akan segera dihapus, dan siapa pun yang dianggap terlibat segera ditangkap tanpa jejak.

Makara tahu ia harus berhati-hati. Namun di suatu malam saat ia sedang berjalan pulang dari pasar, ia melihat beberapa orang yang menutupi wajah mereka sedang melukis simbol sayap di tembok belakang toko roti. Makara hanya diam. Ia tak berniat untuk melaporkan tindakan mereka ke pihak berwajib. Pria tua itu benar—kebenaran sedang dikejar dan dibungkam, tapi tidak semua orang bisa dibungkam. Jejak Artanis ada di mana-mana, dan kini Makara adalah bagian dari jejak itu. Suaranya mungkin terlalu kecil untuk terdengar, tetapi mulai sekarang Makara akan terus bersuara sampai kerongkongannya kelu demi meneriakkan keadilan.

"Aku pasti menyembuhkan Nusantara, Ibu."

SEPTEMBER HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang