AIR SUNGAI mengalirderas, membawa lumpur dan puing-puingsisahujansemalam. Di pinggir sungai yang bergejolak, Rara Rahayu berdiri diam, pandangannya terpaku padapohon-pohon yang rebah, hanyut dalam derasnya arus. Asap tebal dari tambang yang jauh terlihat samar-samar, seperti luka yang tak kunjung sembuh di tengah alam Halmahera.
"Ini bukan alam yang marah, ini mereka yang tamak," kata Rara pelan, tangannya mengepal, menahan amarah yang mendidihdi dadanya.
Di sebelahnya, Kepala Suku Haruma memandang dengan tatapan berat. Pria tua itu tak mampu lagimenyembunyikan kekecewaan dan kesedihan di balik wajahnya yang penuh garis waktu. "Mereka telah menjarah tanah kita, Rara. Hutan-hutan itu pernah menjadi tempat kita berburu, mencariobat, hidup bersama alam. Sekarang... lihatlah apa yang tersisa."
Rara menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca. "Bukan hanya hutan kita yang mereka rusak, Pak Haruma. Sungai ini dulu bersih, tempat anak-anak bermain, tempat kehidupan kita bergantung. Sekarang? Semuanya mati."
Kepala suku mengangguk perlahan. "Betul, nak. Tapi apa yang bisakita lakukan? Mereka punya kekuasaan."
Rara menatap langsung ke mata pria tua itu, berusaha menyalakan kembali api perjuangan. "Kita punya suara. Itu yang tak bisamereka beli, Pak Haruma. Suara kita masih bisa didengar."
Pak Haruma menatap Rara dalam-dalam, melihat semangat muda yang tak gentar. "Tapi suara-suara itu bisa dibungkam. Lihatlah mereka yang dulu berani, kini hilang entah ke mana."
Rara tak goyah mendengar pedihnya jawaban dari Pak Haruma. "Kalau saya harus menjadi yang terakhir, saya rela. Tapi saya tidak akan diam. Dunia harus tahu apa yang mereka lakukan di sini."
Suara Rara gemetar, tapi tegas. Dia tahu, satu langkah di depannya akan penuh bahaya. Tapi ia lebih takut pada diam yang membunuh daripada ancaman yang datang dari para pemilik modal. Kepala suku meletakkan tangannya di bahu Rara, menguatkannya. "Berhati-hatilah, Rara. Mereka takkan tinggal diam."
Rara menatap sungai yang semakinderas. "Saya jugatidakakantinggal diam, Pak Haruma. Mereka harus bertanggung jawab. Untuk hutan kita, untuk sungai ini, untuk kita semua."
Air sungai meluap, membawa lumpur coklat yang menyapu rumah-rumah dan ladang di desa. Jeritan penduduk bercampur dengan gemuruh air yang seakan menggila. Di tengah kekacauan, Rara Rahayu takikut lari. Dengan langkah tergesa namun penuh tekad,ia mengangkat ponsel dan mulai mengambil gambar serta video. Rumah-rumah roboh, ladang-ladang tergenang, dan air yang membawa sisa-sisa kehancuran itu adalah bukti dari eksploitasi PT. Indonesia Weda-Bay Industrial Park yang selama ini ia peringatkan.
"Ini bukan bencana alam, ini hasil perusakan alam!" gumam Rara,tangannya gemetar saat mengetik caption yang akan ia unggah di media sosial. Jari-jarinya bergerak cepat, penuh amarah. Dalam hitungan menit, unggahannya tersebar luas. Ratusan orang mulai membagikan, menyuarakan dukungan, menanyakan pertanggungjawaban. Tagar #SelamatkanHalmahera dan #PTIWIPBertanggungJawab mulai naik di lini masa, memicu perbincangan nasional.
Namun, tak berselang lama setelah unggahan viral, ancaman itu datang. Langit Halmahera mendung, seperti mengisyaratkan akan datangnya badai. Rara Rahayu berlari di antara pepohonan yang mulai menipis, di belakangnya suara deru mobil dan langkah kaki para aparat semakin mendekat. Udara terasa berat, tetapi jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia tahu ini bukan sekadar ancaman, mereka benar-benar ingin membungkamnya—dengan cara apa pun.
Rara terus berlari, napasnya terengah-engah. Kakinya nyaris tergelincir di atas tanah licin bekas hujan semalam. Di depan, ia melihat sungai yang mulai meluap, tetapi ia tak punya pilihan lain. Di belakangnya, suara langkah kaki semakin jelas terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPTEMBER HITAM
ActionDari pembantaian brutal hingga tindakan represif yang melanggar kemanusiaan, bulan september sering kali menjadi pengingat pahit akan rentetan peristiwa yang meninggalkan jejak duka dan trauma yang sulit terhapus dari ingatan kolektif masyarakat. Re...