Memori 8 - Dendam Herman (ana_noey)

19 3 0
                                    

"Sampai kapan mereka akan merusak tempat kita?" keluhku sambil mengusap peluh yang membasahi dahi. Mataku tertuju pada mobil-mobil besar yang pergi dari arah selatan pantai.

Razak di sampingku hanya tertawa getir.

Ini adalah bulan kelima sejak kami mulai mencoba peruntungan menjadi nelayan. Akan tetapi, setiap rasa lelah karena semalaman berada di lautan lepas, ingatanku selalu melayang pada ladang-ladang kami yang kini tertimbun air laut.

Tiga tahun sudah ladang kami dirusak oleh orang-orang asing itu. Berkali-kali kami melapor pada kepala desa bahkan pada polisi setempat. Namun, tidak ada perubahan sama sekali.

Rasa rindu akan ladang yang kurasakan sejak semalam membuat emosi dalam dada sedikit bergejolak. Rasanya kesabaran di hati ini sudah terkikis habis.

Ini harus dihentikan! Jika para pejabat tidak mampu menangani, maka aku sendiri yang akan berjuang sampai mati, ucap Razak kala itu.

"Man, sepertinya kita harus melapor lagi."

Kali ini aku yang tersenyum getir. "Buat apa? Toh, ladang kita sudah tertimbun air."

"Apa kamu lupa? Masih ada kampung halaman kita yang harus dilindungi. Sekarang ladang-ladang milik kita, nanti apa lagi? Perkampungan yang tertimbun air? Jika mereka terus menambang pasir secara ugal-ugalan seperti itu, bukan tidak mungkin air akan semakin naik ke daratan."

"Oke, ayo pulang dulu, Zak. Kita akan bicara nanti setelah menjual ikan-ikan ini," tukasku seraya menurunkan peralatan dari perahu yang kami gunakan.

Dengan langkah gontai aku mengikutinya. Berjalan ke arah pasar, siap menjajakan ikan-ikan yang berhasil kami tangkap.

Dulu kami berdua tidak pernah ikut mencari ikan. Hasil dari ladang yang kami buat beserta penduduk lain telah mencukupi kebutuhan kami. Sayangnya para penambang itu datang menghancurkan segalanya.

.

"Herman dan Razak?"

Segerombolan preman menghadang kami begitu kami pulang dari pasar. Rasa letih membuat kami kurang merespons mereka.

Namun, sepertinya sikap kami disalahartikan sehingga seseorang dari mereka menarik Razak dan memukul perutnya.

Peralatan milik Razak berceceran. Temanku itu merintih saat tubuhnya yang tidak lagi muda membentur tanah kering. Sakit sekali hatiku. Akan tetapi, diri ini mencoba untuk menahan amarah.

Tubuh lelah kami tidak sebanding dengan tenaga mereka yang kuat.

"Siapa kalian?" teriak Razak.

"Sebaiknya kalian berhenti membuat masalah atau kalian akan mati! Paham?!" tekan Si Pemukul sambil mengajak yang lain pergi.

Melihat mereka berlalu aku memapah temanku dan mengantarnya pulang. Sesampainya di sana istri Razak pun mengomel.

"Aduh, Pak! Sudah kubilang hentikan saja. Sekarang mereka berani memukulmu. Bagaimana nanti? Aku takut Bapak kenapa-napa."

"Sudahlah, Bu. Jangan berlebihan. Ini hanya pukulan kecil. Andai aku tidak lelah sudah kupukul balik mereka," dengus Razak sambil tersenyum lebar ke arahku. "Benar, kan, Man?"

"Yoi! Aku pulang dulu, Zak. Nanti sore kita kumpul di pos seperti biasa."

Razak hanya melambaikan tangan sambil masuk ke dalam rumah. Langkahnya tertatih. Pasti badannya sakit. Pukulan tadi sangat keras menurutku.

Memikirkan ancaman para preman tadi aku sedikit takut. Namun, seperti yang Razak katakan, jika kami menyerah di sini, semua yang kami lakukan dalam tiga tahun ini akan sia-sia.

SEPTEMBER HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang