Memori 6 - Gods Among The Gun (pencilpatron)

29 5 0
                                    

"Memangnya aku ini bukan dosa bagimu?" Aku meraih wajah kekasihku yang menunduk ketika aku berbaring di bawah tubuhnya di kasur. "Aku ini penari dan kau pendeta."

"Apa salahnya? Aku suka melihatmu menari." Atman memberikan ciuman di sepanjang tulang selangkaku yang telanjang.

"Kau tahu itu tidak benar. Dulu sulit sekali mengundangmu menonton tarianku padahal orang-orang rela berdesak-desakan untukku," tukasku. Masih jelas dalam ingatanku pendeta ini tidak menggubris tarianku di sanggar seni padahal khalayak berbondong-bondong mengikuti lambaian kipasku.

"Oh, ya, benar. Kau selalu punya cara untuk membuat orang tak berpaling darimu."

"Kecuali kau. Kau bahkan tak melihatku."

"Benar lagi." Tangan Atman membelai pinggangku. "Apa yang kau lakukan padaku? Apa ini karena aroma cempaka di rambutmu?"

"Kau tahu aku tidak bisa melakukan apa-apa padamu." Lembut sekali belaiannya. Giliranku untuk mencubit hidungnya. "Kau dan bunyi genta itu."

"Kau menyukai itu lebih dari Genjer-Genjer. Katamu itu membuatmu menari lebih bagus."

Lagu itu sedang naik-naiknya sepanjang tahun '65 dan punya cerita sendiri tapi jadi membosankan karena terlalu sering digunakan. Genta Atman lebih menarik.

Aku mendesah karena ciuman Atman di pangkal paha. Dia sudah melihat tubuhku sebagai penari maupun sekedar perempuan dan mencintai keduanya.

"Tidak ada dosa. Aku mencintaimu, Ava." Dia merangkak naik, kecupannya berakhir dalam di mulutku. "Aku tidak mencintaimu karena aroma cempaka itu. Seluruh dunia sudah mendesakku untuk selalu mengabdi pada surgawi. Kau mengingatkanku bahwa dunia ini sama pentingnya untuk ditolong."

Kedua kakiku melingkari pinggangnya, jadilah dia membenamkan diri lebih jauh dan bergerak lembut. Penghujungnya tiba dan dia tersenyum manis di bibirku.

"Kalau bicara soal dosa, aku ini bukan pendeta seutuhnya. Jadi tidak suci-suci juga," bisiknya. Kedua tangan kami bertaut di bawah selimut.

Sekarang-sekarang ini Atman disibukkan oleh para warga yang datang ke Puri Agung untuk minta bahan pangan. Semua ini akibat pasokan bahan makanan terganggu karena sawah semakin jarang digarap, para petani menghilang bersama cangkulnya, juga palu dan arit mereka.

Nyaris sepanjang bulan September ini, warga mengandalkan belas kasih bangsawan seperti dia untuk hidup. Menurut opini, tindakan itu mengurangi kesuciannya.

"Mungkin seharusnya memang kau berhenti terlibat," bisikku.

Atman menggeleng. Sudah kuduga dia akan menolak. "Aku sudah lihat banyak nama masuk Daftar Kiri, Ava. Bahkan nama-nama itu tidak tahu apa itu Partai Kiri, mereka pikir partai itu isinya petani, buruh, ibu-ibu belajar masak dan menari."

Aku tahu daftar yang terkenal itu berisi nama para terduga anggota Partai Kiri. Sebuah partai yang berambisi mengganti ideologi Republik dan pengikutnya mendesak pergantian itu habis-habisan. Mereka mulai memburu para jenderal di ibukota sana sampai sudah ada tujuh yang hilang dan belum ditemukan. Sebagai upaya penyelamatan, ada Jenderal Besar yang melakukan pengamanan. Pengikut Kiri dibersihkan, ditangkap, ditumpas, dimanapun mereka berada.

"Apa menurutmu orang-orang itu benar-benar ingin mengganti ideologi?" tanyaku ragu.

Atman mengendikkan bahu. "Entahlah, tapi pembunuhan berantai tanpa pandang bulu di ibukota tidak benar. Itu bukan keadilan, Ava, itu cuma nafsu."

"Kalau orang yang salah mendengar kalimatmu ini, mereka akan memburumu." Aku meremas jemari Atman.

"Memangnya sekarang aku tidak diburu?"

SEPTEMBER HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang