"Berani-beraninya datang ke sini. Punya nyawa ganda kamu?"
Huh? Rafael tertegun. Pak lurah yang semula ramah, tiba-tiba berubah sinis dan dingin setelah melihat foto yang dibawanya.
"Maaf, Pak Lurah. Saya tidak mengerti---"
Pak lurah menyela kasar, "Keturunan Wiryo Joyo tidak diterima di sini!"
Rafael bisa merasakan kebencian yang teramat dalam pada suara pak lurah saat menyebut nama itu. Dia tidak tahu siapa Wiryo Joyo, tetapi sudah bisa menduga bahwa itu adalah nama pria dalam foto.
Sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan perubahan sikap pak lurah. Namun, ketika dua pria bertampang jagoan tiba-tiba datang dan berdiri di belakang pak lurah, Rafael pun segera berpamitan. Dia datang ke desa ini dengan tujuan memastikan sesuatu, bukan untuk mencari perkara. Jadi, lebih baik segera pergi untuk menghindari keributan.
"Maaf, sudah mengganggu. Kalau begitu saya permisi, Pak." Tidak menunggu respons, Rafael segera bangkit dari duduk.
Akan tetapi, begitu berbalik malah mematung karena pak lurah berkata, "Sudah datang jangan harap bisa pergi. Darah keturunan pengkhianat halal ditumpahkan."
Selain itu, di pelataran ada tiga pria berpenampilan laiknya penjagal manusia sudah menunggu. Sebagai master Taekwondo, Rafael tidak takut sama sekali menghadapi orang-orang itu. Namun, jika mungkin dia sangat berharap bentrokan tidak perlu terjadi.
"Apa perlu sampai seperti ini, Pak?"
Pak lurah menyeringai licik. "Jika ingin keluar dari sini, kalahkan mereka dulu," ujarnya kemudian dengan arogan.
"Jika tidak bisa dihindari, ya, apa boleh buat." Setelah itu, Rafael pun mengayun langkah tegas sambil mencengkeram erat-erat tali ransel yang disandangnya.
Dia hendak melewati ketiga pria itu, tetapi langsung diserang serempak. Tanpa ragu dia melakukan tendangan melingkar disertai lompatan, ketiga lawannya jatuh seketika hanya dalam sekali sapu. Memanfaatkan kesempatan, Rafael pun segera melarikan diri. Namun, kedua pria yang berdri di belakang pak lurah langsung mengejar.
Rafael terus berlari menuju jalan besar desa, tetapi ketika berbelok salah mengambil arah. Gerbang desa seharusnya ke kiri, tetapi dia malah mengambil arah kanan dan masuk semakin jauh.
Desa kecil yang terletak di lereng Gunung Pandan ini sangat lengang. Baru pukul tujuh malam, tetapi pintu-pintu rumah penduduk sudah tutup semua. Jalanan cukup gelap karena tidak ada lampu penerang.
Sial! Kenapa harus salah arah di saat seperti ini, sih? Ketika menyadari sudah salah arah, Rafael pun merutuk dalam hati. Dia menoleh ke belakang dan mendapati kelima jagoan pak lurah sudah bersatu mengejarnya.
Harusnya aku mendengarkan saran Ryan untuk datang besok siang dan tidak sendirian. Sekarang dia menyesali keputusan yang diambil karena tidak sabaran.
Hanya karena penasaran dan berbekal sebaris alamat di balik foto, dia jauh-jauh datang dari Surabaya ke desa kecil dan terpencil di wilayah Bojonegoro ini. Ryan, sahabatnya yang berasal dari kota ini sudah memperingatkan bahwa penduduk Desa Tempiri masih sangat kolot. Mereka seperti hidup di dunia mereka sendiri. Orang luar tidak diterima dan orang dalam tidak ada yang boleh keluar.
Ini namanya penasaran membawa sengsara. Enak rebahan di rumah menikmati liburan kuliah, malah pergi mendatangi masalah. Sambil terus berlari, Rafael mengomel di dalam hati.
Semua gara-gara foto hitam putih usang itu. Dia menemukannya secara tidak sengaja ketika tengah melihat-lihat koleksi buku tua orang tuanya sekitar sebulan yang lalu.
![](https://img.wattpad.com/cover/377500603-288-k738529.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPTEMBER HITAM
ActionDari pembantaian brutal hingga tindakan represif yang melanggar kemanusiaan, bulan september sering kali menjadi pengingat pahit akan rentetan peristiwa yang meninggalkan jejak duka dan trauma yang sulit terhapus dari ingatan kolektif masyarakat. Re...