"Cepat, masuk! Di sana banyak tempat aman buat sembunyi!" Seorang pemuda memberi instruksi sambil menunjuk-nunjuk ke arah utara.
Melihat mereka tetap bergerombol, pemuda yang lain pun berseru, "Goblok, jangan bergerombol! Berpencar, berpencar, berpencar biar tidak ketahuan!"
Ketika ada beberapa orang berlari ke arah selatan, pemuda pertama pun berteriak gusar, "Jangan lari ke arah markas, goblok! Sana, ke utara! Cepat, cepat, cepat!"
Mereka lari tunggang-langgang ke arah utara seperti yang diinstruksikan, berpencar mencari selamat masing-masing. Namun, malang tidak dapat ditolak, para pengejar menyusul terlalu cepat.
Pasukan bersenjata yang berhasil mengejar, menghamburkan persediaan timah panas mereka tanpa ragu-ragu.
Aku, hutan jati Panjuran wilayah Madiun, tempat mereka selama ini bersembunyi. Hanya bisa menonton ketika mereka memasuki kehidupanku yang tenang dan menghancurkannya. Mereka adalah orang-orang yang dicurigai sebagai pemberontak. Terorganisir dalam sebuah partai komunis, partai penentang yang ingin berkuasa dan menjadikan idealisme mereka sebagai acuan dalam pemerintahan.
Akan tetapi, sebenarnya mereka hanya sekelompok pemuda bodoh yang dijadikan kambing hitam. Ketika rencana pemberontakan yang sudah tersusun rapi hancur berantakan karena terendus pihak penguasa, mereka pun dijadikan sebagai pengalihan supaya para petinggi bisa melarikan diri dengan aman.
Kini, pemuda-pemuda itu telah berkalang tanah, terkubur massal di tempatku. Visi misi berorientasi pada perubahan yang dianggap luhur, justru mengantarkan mereka ke alam baka dengan cara yang sangat sadis.
Banyak sudah yang telah kudengar juga kulihat. Semuanya tersimpan rapi di dalam kotak pandora, tidak akan pernah hilang meskipun kotaknya telah usang. Bahkan, bau anyir darah dari malam pembantaian di pertengahan bulan September itu masih terasa segar. Meskipun hujan telah menghapus jejaknya, tetapi aku masih bisa mencium aromanya.
Aku pikir, setelah peristiwa berdarah itu tidak ada lagi orang yang akan mengunjungiku. Namun, di akhir bulan September ketika hujan mulai intens membasahi tanah, seorang pemuda datang di malam hari. Berbekal senter dan topi caping, dia menyisir hutan sambil menyibak semak belukar.
Pemuda yang sangat pemberani, membuatku kagum. Kira-kira, apa yang sedang dia cari? Seandainya saja kami bisa saling menyapa.
Dia berhenti di bawah pohonku yang paling rindang sambil menoleh ke sana-kemari. Dari napasnya yang terdengar ngos-ngosan, sepertinya sudah sangat kelelahan.
"Ke mana lagi harus mencari?" Dia bergumam putus asa. "Gun hanya bilang di hutan jati sebelah barat. Tapi hutannya kan ada tiga dan luas semua. Aku sudah mutar-mutar dari pagi tidak ketemu juga."
Sebenarnya apa yang dia cari? Melihatnya tampak kelelahan dan putus asa, aku jadi merasa kasihan.
"Hutan Panjuran ...."
Oh! Dia bicara padaku. Apa dia tahu aku sedang melihatnya? Jangan-jangan dia punya indra keenam.
"Bisakah kamu memberiku petunjuk? Aku hanya ingin menemukan kuburan massal tempat para pemuda itu ditimbun. Aku ingin membawa pulang adikku. Bocah bodoh dan keras kepala itu ...."
Suaranya serak dan goyah, lalu terdengar seperti suara tercekik yang membuatnya berhenti bicara. Sepertinya dia sedang menahan diri agar tidak menangis, matanya yang tiba-tiba menatap ke atas tampak memerah dan berkaca-kaca.
Oh .... Ya Tuhan Penguasa semesta. Andai saja Engkau berkenan memberiku izin untuk menolongnya.
Sementara asyik memperhatikan dia, tiba-tiba kudengar suara langkah-langkah lain mendatangiku. Mereka ada lima orang. Apa yang sedang mereka lakukan? Apa juga sedang mencari kuburan massal itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPTEMBER HITAM
ActionDari pembantaian brutal hingga tindakan represif yang melanggar kemanusiaan, bulan september sering kali menjadi pengingat pahit akan rentetan peristiwa yang meninggalkan jejak duka dan trauma yang sulit terhapus dari ingatan kolektif masyarakat. Re...