Bab 5 Jiwa-jiwa yang Putus Asa

9 4 0
                                    

Sabtu pagi, 08.00 WIB, Rumah Sakit Harapan Jiwa.

Aldrich turun dari mobil mewahnya, lalu berdiri dan termenung menatap rumah sakit jiwa yang sudah lama tidak ia kunjungi.

Setelah hampir 13 jam perjalanan dari London ke Jakarta, akhirnya Aldrich pun sampai ke tempat tujuannya.

Ya. Akhirnya Aldrich memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah mendengar kabar tentang ibunya. Setibanya di Jakarta, tanpa singgah untuk beristirahat terlebih dahulu, Aldrich langsung memutuskan untuk ke rumah sakit.

"Tuan, jika anda masih lelah, kita bisa ke hotel dulu. Saya sudah pesankan hotel terdekat dari rumah sakit. Atau, tuan ingin beristirahat di rumah besar saja?" tanya James yang turut serta bersama Aldrich.

James bertanya demikian karena Ia pikir Aldrich belum siap bertemu ibunya, karena sedari tadi Aldrich hanya berdiri termenung dan enggan melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

"Tidak perlu. Ibuku sudah terlalu menderita, masihkah dia harus kubuat menderita lagi dengan menungguku terlalu lama?" jawab Aldrich.

"Baik tuan. Mari kita bertemu dengan dokter." ajak James.

Aldrich dan James akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Setiap orang yang memperhatikan mereka masuk, langsung membungkukkan badan seraya memberikan hormat.

Di seberang lain, banyak memasang muka heran dengan dahi berkerut.

"Hei, itu Mr. Aldrich kan? Beneran itu dia? Udah lama banget dia nggak pulang ke Indonesia." kata seseorang.

"Iya juga. Kenapa ya? Apa jangan-jangan ibunya kambuh lagi?" tanya yang lainnya.

"Mungkin juga. Semalam saat aku mengambil berkas ke lantai 3, aku mendengar suara orang berteriak-teriak di sebelah ruang direktur. Apa mungkin itu suara Nyonya Rieta?" jawab seseorang yang lain lagi.

Tanpa disadari perbincangan mereka yang terlalu asik di dengar oleh Aldrich yang baru saja melintas di depan mereka. Seketika Aldrich menghentikan langkahnya.

Aldrich merubah arah jalannya, mendekati tiga orang yang sedang berkerumpul. Seketika tiga orang itu berbaris sejajar dengan kepala menunduk.

"Kalian sudah berapa lama bekerja disini?" tanya Aldrich dengan wajah tegasnya.

"Sssa..ya, sudah 3 tahun sir." jawab pegawai pertama.

"Saya sudah 5 tahun sir." jawab pegawai kedua.

"Ss..sa..ya, baru 3 bulan pak, ehh sir." jawab pegawai baru agaknya.

Ketiga orang tersebut menjawab dengan gugup, bahkan terasa seperti terkena serangan panik. Sepertinya mereka membutuhkan obat penenang seperti yang biasa mereka berikan kepada pasien di rumah sakit ini.

Aldrich melipat kedua tangannya tanpa melepaskan pandangan sedikitpun kepada ketiga pegawai yang ada di depannya saat ini. Wajah tegas menunjukkan sama sekali tidak ada keramahan di wajahnya. Membuat seluruh tubuh ketiga pegawai ini bergetar tak berdaya.

"Hmm. Tiga tahun dan lima tahun bukan waktu yang sebentar. Lantas, apakah pekerjaan disini sudah berubah. Dari melayani pasien menjadi tukang menggosipi pasien?" tanya Aldrich menyelidik.

"Ti..tidak, tuan." jawab si pegawai 5 tahun memberanikan diri.

"Dan kamu. Beginikah caramu mengajarkan juniormu disini? Mengajaknya bergosip?" tanya Aldrich kembali.

"Ma..maaf tuan." jawabnya lagi.

"Baiklah, semoga kalian tetap terus bisa bekerja disini." jawab Aldrich singkat sambil berlalu.

Kisah ArinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang