Bab 14 Gundah Hati

7 3 0
                                    


Tuutt....tuttt....tuttt.

Bunyi nada sambung yang terdengar di telepon genggam Adinda tak kunjung berhenti. Ini sudah ketiga kalinya Adinda menelpon kakaknya, namun tak juga diangkat.

"Mbak Arina ndak angkat telponnya, bu. Nanti saja Adinda coba telpon lagi." lapor Adinda kepada ibunya yang sedari tadi memintanya untuk menelpon kakaknya.

"Kenapa to yo Arina ini kok ndak mau angkat telpon. Padahal ini kan sore, harusnya dia sudah selesai kerja." kata Ibu khawatir.

"Sabar bu, mungkin Arina masih ada pekerjaan. Atau siapa tau dia lagi di kamar mandi." jawab ayah menenangkan Ibu.

Ibu pun mengalah. Hari ini suasana di rumah Ayah dan Ibu Arina sedikit menegangkan. Semalam Ayah dan Ibu menonton televisi dan mendengar berita bahwa sekolah tempat Arina bekerja akan ditutup. Seketika mereka langsung mengkhawatirkan Arina dan ingin mengetahui kondisi anaknya sekarang. Namun sayang, sampai sore begini Arina masih belum bisa dihubungi juga.

***

Sementara itu, di asrama Greenwood..

Aku baru saja keluar dari kamar mandi. Rasanya sekarang tubuhku lebih enteng setelah terguyur air. Aku menggelar sajadahku di lantai. Ku pakai mukenaku dan langsung melaksanakan shalat ashar. Aku menengadahkan kedua tanganku setelah menyelesaikan empat rakaatku. Aku memohon petunjuk-NYA mengenai apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku memohon keteguhan hati atas kebimbangan yang sekarang sedang melanda hati.

Aku mengatupkan kedua tangan tepat di mukaku yang sekarang sendu. Semoga Tuhan segera memberi jawaban dan ketetapan hati. Tuhan, Engkau adalah pemilik hati ini, maka kemana pun Engkau membawa hati ini, aku pasrah. Kulipat mukena dan sajadahku dan meletakkannya di tempat semula. Aku duduk di sisi ranjang sembari merapikan rambutku yang keluar dari ikatannya, lalu memasangkan kembali jilbab yang aku sampirkan di kursi kerjaku.

Aku meraih handphone yang sedari tadi aku letakkan di atas meja. Ada delapan panggilan tak terjawab dari Adinda. Aku segera membuka dan memanggil ulang.

"Assalamu'alaikum. Halo, mbak! Kemana aja to, aku telpon ndak diangkat?" seru Adinda sangat memekikkan telinga.

"Waalaikumsalam. Iya maaf, tadi mbak lagi mandi terus shalat Ashar." jawabku agak tak bersemangat.

"Ya Allah mbak, ini udah jam lima lewat seperempat baru shalat ashar. Kalau bapak tau bisa kena marah kamu mbak!" seru Adinda kembali.

"Bapak nggak akan marah. Bapak sayang sama mbak. Kalau kamu yang buat salah naa, pasti bapak marah." jawabku menggoda Adinda.

"Jadi, maksudnya bapak ndak sayang sama aku, mbak? Enak aja! Yang namanya salah ya salah mbak, sama-sama dimarah." kata Adinda tidak terima.

Adinda benar. Bapak memang sangat tegas kepada kami jika itu mengenai tentang aturan. Entah itu aturan agama, aturan rumah, aturan sosial, apa pun jenis aturannya. Tapi kami tau, ini semua untuk kebaikan kami, anak-anak perempuannya yang harus mengerti aturan dan batasan. Bapak sedang memberikan perlindungan kepada kami.

"Ada apa kamu telpon mbak?" tanyaku kemudian.

"Tadi bapak sama ibu yang pengen ngomong sama mbak. Tapi, bapak sama ibu udah pergi ke masjid, karena ada acara syukuran desa." jawab Adinda.

"Mbak! Beberapa hari lalu, bapak sama ibu nonton berita di tivi. Mereka dengar berita kalau Greenwood collaps. Bapak sama ibu langsung khawatir dengan kejadian itu. Sampai tengah malem bapak sama ibu masih ngobrol membahas itu, mbak. Makannya bapak sama ibu pengen telpon mbak." tambah Adinda lagi.

"Kamu bilang sama bapak sama ibu. Jangan khawatir. Sejauh ini Greenwood masih baik-baik saja. Mbak juga masih ngajar kok. Doakan saja yang baik-baik." jawabku berusaha menenangkan bapak dan ibu melalui Adinda.

Kisah ArinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang