Bab 17 Penolakan yang Ditolak

6 2 2
                                    


Pernahkan kalian membayangkan pernikahan seperti apa yang kalian inginkan? Pernikahan dengan gaun cantik? Pernikahan dengan gedung mewah yang didekorasi oleh bunga-bunga indah dan wangi? Atau pernikahan dengan adat modern atau tradisional? Apa pun itu, yang paling penting adalah kalian menikah dengan pasangan yang kalian cintai, bukan? Bahkan, pernikahan paling sederhana sekalipun akan tetap terasa megah, jika itu bersama orang yang kita cintai.

Bapak dan ibuku dulu juga menikah secara sederhana. Mereka cukup dengan mendatangkan penghulu ke rumah, menggelar tikar sebagai alas. Hanya keluarga dekat yang menyaksikan, tanpa dekorasi, tanpa perlu menyewa fotografer handal untuk mengabadikan momen penting itu. Tapi, lihat, kenangan momen terbahagia mereka tetap tersimpan rapi dalam ingatan, seakan tak pernah sirna di telan jaman. Karena apa? Karena mereka saling mencintai.

Aku tahu persis, jika aku menerima tawaran pria kaya itu, hidupku akan berubah drastis. Aku sudah pasti akan menjadi nyonya besar. Aku tidak perlu khawatir lagi jika aku tidak bekerja sekalipun, kebutuhanku akan tercukupi. Jika aku membutuhkan sesuatu, aku hanya perlu menjentikkan jariku, lantas pelayan-pelayan akan datang berhamburan berebut untuk memenuhi kebutuhanku. Begitu kan? Juga wanita-wanita lain akan iri kepadaku karena aku punya suami yang sangat tampan dan perfeksionis, idaman setiap wanita.

Tapi, apa bahagia itu cukup diukur dengan itu? Dengan harta bergelimpangan, dengan hidup megah serba mahal, atau dengan suami tampan? Aku bukan munafik. Aku juga ingin kaya, ingin hidup enak, ingin punya suami berparas tampan bak seorang aktor. Tapi, bukan itu poin utamanya.

Poin utamanya adalah aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku. Lebay? Cinta tidak membuatmu kenyang. Hei, cinta itu bukan makanan, jelas tidak membuat perutmu kenyang. Cinta itu bukan di perut kerjanya, tapi di hati. Sekarang aku bertanya, perutmu kenyang, tubuhmu dibalut kain sutra, kau tidur di dipan emas, tapi suamimu tidak mencintaimu. Bagaimana kabar hatimu, heh?

Maaf, aku terlalu sentimental. Aku sudah putuskan akan menolak tawaran pria kaya itu. Aku tau resikonya, ribuan orang akan kehilangan pekerjaan, ribuan anak-anak putus asa karena harus pindah sekolah, dan para orang tua yang kecewa. Aku tau! Tapi, aku akan tetap menolak, itu keputusanku malam ini.

Aku sudah berdiri, melangkah pergi meninggalkan pria kaya idaman wanita itu. Keputusanku sudah bulat. Aku sudah sampaikan kepadanya bahwa aku menolak tawarannya. Sekarang, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku siap pergi sekarang, membiarkan pria itu tetap duduk di tempatnya, persis seperti rencana awal. Aku sudah melangkahkan kaki dengan mantap untuk keluar dari restoran mewah ini sebelum aku mendengar teriakannya.

"Berhenti!"

Langkahku terhenti saat itu. Mau apa lagi pria ini? Bukankah sudah jelas bahwa aku menolaknya. Aku membalikkan badan, memasang muka menantang. Apa maumu? Begitu kira-kira terjemahan dari raut wajahku ini.

Pria itu berdiri dari duduknya, melangkah santai ke arahku. Masih dengan ekspresi datar dan dingin, ia berhenti tepat di hadapanku, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.

"Kau terlalu buru-buru mengambil keputusan, Nona Arina. Apa kau tau, keputusan yang kau ambil itu berdampak besar kepada ribuan orang. Jangan egois!" Aldrich menatapku balas menantang.

"Aku egois?" Aku tertawa kecil, "Anda yang egois, tuan! Anda sudah mengorbankan masa depan saya hanya untuk kepentingan anda yang tidak jelas itu. Jangan memutar balikkan fakta."

"Baiklah, anggap kita sama-sama egois. Tapi, seperti yang kau katakan, Nona. Aku hanya akan mengorbankan kau seorang saja. Sedangkan kau, mengorbankan masa depan ribuan orang. Mereka akan kehilangan pekerjaan. See, siapa yang paling egois diantara yang egois?"

Pria ini! Dia bilang hanya mengorbankan aku. Mudah sekali dia berucap, seakan aku tidak ada harganya. Aku ingin marah, aku ingin berteriak memakinya. Tanganku sudah mengepal, ingin rasanya aku tonjok wajah pria ini. Tapi mulutku kelu, ingin memaki, namun tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Dadaku sesak.

"Aku anggap pertemuan ini sebagai pengenalan, Nona. Kau hanya kaget, karena baru bertemu denganku pertama kali. Kau masih punya waktu satu minggu lagi. Ini bukan waktunya kau memutuskan. Aku akan menemuimu satu minggu lagi, dan keputusan itu baru aku anggap sah. Aku akan menerima jika kau masih menolakku. Tapi aku yakin kau pasti berubah pikiran."

What? Aku tidak percaya ada orang seangkuh pria ini.

"Aku sudah memutuskan untuk menolak, tidak akan ada yang berubah."

"Aku bilang jangan putuskan sekarang, Nona. Sampai bertemu satu minggu ke depan. Permisi, aku pamit."

Pria itu melenggang pergi meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku. Hei, harusnya aku yang pergi meninggalkannya duluan, bukan dia. Setidaknya itu akan membuatku lebih bermartabat. Aku masih tidak percaya ada orang seperti itu. Apa mentang-mentang dia bos?

Aku masih mematung ketika kedua temanku berlarian mendekatiku. Pria itu sudah masuk ke dalam mobil bersama asistennya tadi. Tanpa menoleh lagi ke belakang, masuk begitu saja. Aku bisa melihatnya dari kaca jendela. Pria itu begitu santai, terlampau santai malah. Perkara ini bukan apa-apa baginya. Sembarang mengajak menikah anak orang. Hei, orang normal lainnya butuh bertahun-tahun untuk memutuskan menikah dengan pasangannya. Ingat, DENGAN PASANGANNYA! Bukan asal comot. Dia pikir dia sedang ikut undian berhadiah, hah!

"Aku kesal, kesal, kesal! Pria itu menyebalkan, sangat menyebalkan!" aku berteriak sepanjang jalan. Aku, Salma , dan Ipeh sudah keluar dari restoran tadi. Akhirnya, aku melampiaskan kemarahanku di jalanan ini. Tadi sebelum kami masuk ke dalam restoran mewah itu, perkara ini serasa akan menjadi mudah saja. Aku masuk, bertemu dengan pria itu, menolak tawarannya, dan pergi meninggalkannya. Selesai. Tapi, ternyata tidak dengan kenyataannya. Ini menjadi rumit sekarang.

"Sabarlah, Arina. Kadang pria tampan memang bersikap menyebalkan. Tapi, dia tetap tampan, Arina. Aku dan Ipeh saja masih terkesima seperti awal kita melihatnya di mall." Salma mencoba menghiburku, namun langsung disikut oleh Ipeh. Kamu ini, tidak pas sekali momennya bilang begitu. Kira-kira begitu kata Ipeh, matanya melotot ke Salma.

"Jadi, dia tetap pengen nikahin elu, Rin? Walaupun elu udah nolak?" tanya Ipeh kemudian.

"Begitulah, dia bilang penolakanku itu tidak sah, karena belum batas waktunya untuk memutuskan. Aku rasa pria itu agak kurang waras." jawabku.

"Perasaan ngebet banget dia mau nikahin elu, Rin. Apa dia jatuh cinta ame elu kali."

"Mana mungkin, kita belum pernah bertemu. Memangnya ada orang belum pernah bertemu tapi jatuh cinta? Aku yakin dia punya kepentingan yang mendesaknya untuk segera menikah. Dia menikah karena terdesak."

"Masuk akal, sih. Jadi apa rencanamu nanti saat dia menagih keputusanmu, Rin?" Salma bertanya.

"Aku tetap akan menolak. Bagaimana menurut kalian? Apa kalian akan baik-baik saja?" Aku memandang kedua temanku. Aku tau keputusan ini akan membawa dampak besar bagi kelangsungan hidup mereka, dan ribuan yang lain. Mereka tersenyum, kemudian memberi rangkulan kepadaku.

"Hei, Arina. Elu pikir kita selemah itu? Kehilangan pekerjaan lantas menjadi tidak baik-baik saja? Elu salah. Kita adalah wanita-wanita strong. Ah elaaaah, elu kagak tau kalo gua keturunan Si Pitung." Ipeh mulai memperagakan silat khas betawinya, membuatku tersenyum. Aku berganti memandang Salma.

"Aku tidak masalah. Aku tetap akan jadi anak direktur tambang meskipun jadi guru atau pun tidak. Betul kan, Peh?"

"Iya iya percaya gua, si paling direktur. Sombong amat!"

Kami tertawa. Aku masih beruntung memiliki mereka yang selalu mendukung keputusanku. Semoga aku tidak akan pernah menyesalinya. Itu harapanku saat ini, tapi beberapa hari kemudian sebelum aku bertemu kembali dengan pria itu, aku sudah menyesali keputusan itu.


Kisah ArinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang