Bab 10 Berharap Keajaiban Datang

7 3 0
                                    


Hari-hari kami lalui seperti biasanya. Saat ini aku, Salma, dan Ipeh sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dua minggu berlalu sejak awal masuk sekolah. Sampai detik ini pun kami belum memikirkan bagaimana kelanjutan karir kami dalam dunia mengajar ini.

Kami masih sibuk dengan persiapan festival seni tiga bulan ke depan. Ipeh dengan persiapan robot-robotnya, Salma dengan persiapan lukisan-lukisan para muridnya, dan aku dengan persiapan pentas drama musikal. Kami pun jadi jarang hangout bersama lagi.

Di minggu awal masuk sekolah kemarin, kami dan seluruh staff dewan guru di Greenwood Primary School mendiskusikan tentang kegiatan festival seni yang sempat membuat hati kami semua gundah. Akhirnya, kami bertekad untuk tetap mengadakan kegiatan tersebut tiga bulan lagi. Alih-alih ini menjadi festival seni terakhir di sekolah ini, dan kami ingin menjadikan acara ini sebagai kenangan terindah untuk murid-murid juga para orang tua.

Hari ini hari Sabtu. Murid-murid kembali pulang lebih awal karena akan ada pertemuan wali murid dengan manager sekolah, Mr. Ridwan. Aku yakin ini adalah saatnya wali murid mengetahui bahwa sekolah ini akan bubar. Aku tidak bisa membayangkan reaksi para wali murid mendengarkan kabar ini.

Tidak hanya wali murid yang hadir. Pertemuan kali ini juga dihadiri komite sekolah dan kepala dinas pendidikan Kota Jakarta. Aku bersama guru-guru lain sibuk mempersiapkan segala keperluan dalam pertemuan ini.

Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Para wali murid sudah hadir memenuhi kursi yang telah sediakan. Di bagian depan, Ketua Komite dan Kepala Dinas sudah duduk bersiap. Tidak lama kemudian muncullah Mr. Ridwan memasuki ruangan. Sepertinya beliau baru saja tiba di sekolah.

Pertemuan ini pun dimulai. Mr. Ridwan membuka kegiatan ini dengan menyapa para tamu undangan dan memberikan sambutan singkat sebelum akhirnya menyampaikan maksud dan tujuan diadakannya pertemuan ini.

Mr. Ridwan menjelaskan dengan hati-hati, sama seperti waktu lalu mengumumkan hal ini kepada kami di ruang serbaguna. Kami para guru saling berpegangan tangan menunggu reaksi para wali murid.

"Demikian yang bisa saya sampaikan Bapak Ibu sekalian. Mr. President Direktur yang mana adalah pemilik dari sekolah ini menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini yang pasti merugikan banyak pihak termasuk Bapak Ibu wali murid." kata Mr. Ridwan.

"Selanjutnya, kami berikan waktu untuk bertanya jawab terkait hal-hal yang ingin Bapak Ibu tanyakan." lanjut Mr. Ridwan.

"Mr. Ridwan, sejujurnya kami sangat terkejut atas berita ini. Kami kecewa, kami sedih, semua bercampur aduk. Yang pertama, anak-anak kami sangat senang bisa bersekolah disini. Begitupun kami selaku orang tua. Kami sangat bersyukur anak-anak kami mendapatkan pelayanan terbaik disini. Dimana lagi kami bisa percayakan anak-anak kami menempuh pendidikan selain disini? Kami sudah sangat percaya, sir. Apakah hal ini tidak bisa lagi didiskusikan? Apakah benar-benar tidak ada solusi lain selain menutup sekolah ini?" respon pertama muncul dari salah satu wali murid.

"Mohon maaf, Pak. Keputusan ini sudah ditentukan oleh Mr. Presiden. Saya sendiri tidak bisa mengganggu gugat keputusannya. Tiga bulan lagi seluruh gedung dan fasilitas di sekolah ini akan disita. Kami sudah menghadapi jalan buntu." kata Mr. Ridwan.

"Lalu, bagaimana dengan anak-anak kami yang sudah duduk di kelas enam, sir. Mereka sebentar lagi ujian. Sedangkan ini sudah semester genap. Apakah masih ada sekolah yang mau menerima murid pindahan di waktu yang sudah mepet dengan waktu ujian?" tanya wali murid yang lain.

"Hal ini akan kami diskusikan kepada Bapak Kepala Dinas, kami sudah mengundang beliau dan beliau pun memahami keadaannya. Semoga masalah tersebut bisa diatasi oleh Bapak Kepala Dinas." jawab Mr. Ridwan diikuti anggukan kepala dari Bapak Kepala Dinas.

Kisah ArinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang