41 - One Tough Day

332 52 1
                                    

"Apa ini masuk akal? Kau mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang lain. Apa dia melihatmu seperti orang yang tidak punya pekerjaan? Dia makin tidak seperti manusia."

Ashley menatap Jeremy sebentar lalu kembali fokus pada laptop. Pria itu terus mengoceh meski Ashley sedang berusaha untuk fokus pada pekerjaannya. Sudah empat jam berlalu sejak dia pulang, sejak itu pula dia berkutat dengan pekerjaan yang ikut pulang bersamanya. Makan malamnya nyaris terlewatkan seandainya Jeremy tidak datang sambil membawa makanan ringan. Setelah itu Ashley membiarkan Jeremy duduk di sebelahnya.

Dominick tidak main-main ketika berkata akan menambah pekerjaan Ashley, bahkan pria itu juga sudah mengirimkan uang setara dua bulan gaji ke rekeningnya. Tidak hanya gaji sebagai sekretaris pribadi di Vacade, tetapi juga sebagai asisten pribadinya. Ashley bahkan belum menyatakan setuju untuk menambah pekerjaannya, tetapi Dominick sudah menegaskan bahwa dirinya tidak boleh menolak.

Pada akhirnya, pria itu pasti berpikir Ashley melakukan semua itu karena uang. Ashley juga tidak bisa mengelak mengingat hanya itu satu-satunya cara untuk membeli kebebasan.

"Tidak, pekerjaan ini memang untukku." Ashley menghela napas dan menaikkan kacamata yang turun ke tengah batang hidungnya. "Hanya mirip seperti yang tim lain kerjakan. Setelah kupelajari, pekerjaan ini memang hanya aku yang bisa mengerjakannya."

Namun, itu tidak berhasil membuat Jeremy lebih tenang. "Dahimu berkerut terus, pasti sulit untukmu."

"Kau terlalu memperhatikanku, Tuan Muda." Ashley merespons dengan nada jenaka, secara sengaja mengesampingkan kekhawatiran Jeremy. Bagus punya seseorang yang peduli dengannya, tetapi kalau berlebihan justru membuat tidak nyaman.

"Kapan aku tidak memperhatikanmu, hm?"

Yang seperti itu, misalnya. Ashley terbiasa memperhatikan saudara-saudaranya. Sejak ibunya menikah lagi, Ashley juga tidak benar-benar diperhatikan. Satu bulan setelah pernikahan, ibunya hamil dan saat itu kondisinya memang tidak begitu baik. Ashley terlalu kecil untuk merasa iri atas kasih sayang berlimpah yang didapatkan adiknya. Yang dia pikirkan hanya adiknya sangatlah lucu dan Ashley akan menjaganya. Sang ibu mungkin akan lebih memperhatikannya lagi ketika adiknya sudah lebih besar. Sayangnya, itu tidak terjadi karena adiknya bertambah dua lagi.

Sekarang, ada seseorang yang memberi perhatian lebih padanya dan justru membuatnya kewalahan. Ashley tidak membencinya, perhatian yang Jeremy berikan membuatnya merasa aman hingga khawatir tidak bisa membalasnya. Memangnya apa yang sudah Ashley lakukan untuk Jeremy selama ini selain membuatnya repot?

Satu napas panjang Ashley embuskan. "Kau pasti khawatir aku tidak punya waktu untuk kencan selanjutnya, bukan?" Ashley pikir hanya itu satu-satunya cara untuk membalas dan sudah pasti disukai pria itu. Jeremy sudah tersenyum meski Ashley baru memancing keluar topik tersebut.

"Terkadang kau bisa mengerti aku dengan baik."

Ashley menutup laptop di pangkuan karena dayanya baru saja habis. Dia tidak membawa kabel pengisi daya dari kamarnya dengan sengaja untuk memberinya waktu beristirahat. Jeremy kemudian berinisiatif memindahkan laptop tersebut ke atas meja, sedangkan Ashley memanfaatkan itu untuk meregangkan badan sejenak.

"Aku sudah berjanji, kan, jadi aku akan menyisihkan waktu untukmu."

"Jadi, pekerjaanmu sudah selesai hari ini?"

Dari cara Jeremy bertanya, Ashley merasa ada sesuatu yang ingin pria itu lakukan dengannya. "Tidak, aku hanya istirahat sebentar karena laptopku mati. Kenapa?"

Terkadang, Ashley bisa dengan mudah membaca pikiran pria itu. Atau mungkin Jeremy hanya memang sengaja menunjukkannya. Desahan kecewa yang pria itu keluarkan membenarkan dugaannya.

Dare or JomloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang