(menunggu kelahiran dede 016)

248 12 0
                                    

Haechan dan Mark semakin larut dalam momen kebersamaan mereka, menikmati setiap detik yang berlalu di tengah persiapan menyambut kelahiran bayi mereka. Kamar bayi yang semula tampak kosong kini sudah lengkap dengan perlengkapan—tempat tidur bayi, lemari kecil dengan baju-baju mungil, dan mainan-mainan lucu yang tertata rapi. Ruangan itu sudah berubah menjadi ruang yang penuh kehangatan, seolah memancarkan cinta yang tak terbatas dari pasangan yang akan segera menjadi orang tua ini.

Namun, persiapan menyambut bayi mereka bukan hanya tentang hal-hal fisik. Sebagai pasangan yang akan menjadi orang tua untuk pertama kalinya, mereka juga harus siap secara emosional. Dan bagi Mark, ini adalah perjalanan yang tidak mudah. Meski sangat antusias dengan kehadiran si kecil, ada rasa takut dan cemas yang masih menghantui, terutama saat ia mengingat pengalaman check-up yang sempat membuatnya menangis dan merasa ketakutan.

Pagi berikutnya, setelah malam yang penuh kehangatan, Mark terbangun lebih awal dari biasanya. Ia menatap langit-langit kamar bayi mereka yang baru saja selesai dihias, dengan gantungan bintang kecil yang berkelap-kelip lembut di atas tempat tidur bayi. Mark tersenyum, merasa damai. Tapi di dalam hatinya, ada rasa rindu yang tak terkatakan—rindu akan perasaan tenang yang lebih mendalam, sesuatu yang belum sepenuhnya ia rasakan sejak ia hamil.

Haechan, yang tertidur di sampingnya di kursi goyang, menggeliat pelan dan membuka matanya. "Pagi, sayang," gumamnya dengan suara serak, menyapa Mark dengan senyum lelah namun penuh cinta. "Kaka ketiduran lagi, ya?"

Mark tertawa kecil. "Iya, kita berdua ketiduran di sini. Melk nggak tega bangunin kaka. Melk juga suka tidur di sini, rasanya nyaman sekali."

Haechan memeluk Mark dari belakang, menaruh dagunya di bahu Mark. "Kaka senang dengarnya, sayang. Tapi kalau Melk kurang tidur, bisa nggak enak badan nanti."

Mark tersenyum dan menoleh sedikit ke belakang, mencium pipi Haechan pelan. "Melk baik-baik aja, kok, kak. Melk cuma... kadang-kadang masih takut. Masih ada rasa khawatir soal check-up dede. Tapi Melk janji akan lebih berani untuk dede."

Haechan memandang Mark dengan tatapan penuh pengertian, lalu mengecup puncak kepalanya. "Kaka ngerti, Melk. Tapi tenang aja, ya. Kaka selalu ada di sini buat Melk. Kita akan hadapi semua ini bersama, satu langkah demi satu langkah."

Mark mengangguk pelan. Kata-kata Haechan selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik, meski hanya sedikit. Setelah mereka berdua duduk dalam diam sejenak, Haechan tiba-tiba berkata, "Gimana kalau hari ini kita habiskan waktu di rumah aja? Kita bisa masak sesuatu yang Melk suka, nonton film, dan hanya bersantai. Kaka bisa kerja dari rumah juga kalau perlu."

Mark tampak terkejut sekaligus senang. "Beneran, kak? Kaka nggak harus ke kantor?"

Haechan mengangguk dengan senyum kecil. "Iya, hari ini nggak ada meeting penting. Jadi, kaka bisa temani Melk di rumah. Lagipula, kita butuh waktu berdua sebelum dede lahir, kan?"

Mark tersenyum lebar dan mengangguk setuju. "Iya, kak. Melk suka ide itu."

Hari itu, mereka memutuskan untuk menikmati waktu di rumah. Setelah sarapan sederhana yang mereka masak bersama—roti panggang dengan selai stroberi favorit Mark dan jus jeruk segar—mereka duduk di ruang tamu dengan tumpukan bantal di lantai, siap menonton film bersama. Mark, yang sedang hamil besar, merasa nyaman duduk bersandar di sofa, sementara Haechan duduk di sampingnya, memastikan Mark merasa nyaman.

Film yang mereka pilih adalah film animasi yang penuh warna dan musik ceria—jenis film yang selalu bisa menghibur Mark. Sesekali, Haechan memandang ke arah Mark, memastikan ekspresi wajahnya tetap ceria, sementara tangan Haechan dengan lembut mengusap-usap perut buncit Mark. Mereka tertawa bersama saat adegan lucu di layar, dan menikmati ketenangan yang langka ini, di tengah persiapan yang mendekati hari kelahiran.

Namun, ketika film hampir selesai, Mark merasa sedikit cemas lagi. Perasaan itu datang tiba-tiba, seolah-olah ada yang mengingatkan tentang hal-hal yang belum mereka selesaikan. Ia menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya ke bahu Haechan.

"Kak, gimana kalau nanti pas dede lahir... semuanya nggak sesuai rencana? Melk takut... Melk takut nggak bisa jadi ibu yang baik buat dede," bisik Mark, matanya mulai berkaca-kaca.

Haechan menghentikan tangannya yang mengusap perut Mark dan merangkulnya lebih erat. "Sayang, jangan berpikir seperti itu. Melk akan jadi ibu yang luar biasa, kaka yakin. Kita mungkin nggak bisa memprediksi semuanya, tapi kita bisa jalani semuanya bersama-sama. Kaka akan selalu di samping Melk, bantuin apa pun yang Melk butuhin."

Mark menunduk, mengusap air mata yang hampir jatuh. "Melk cuma takut dede nggak bahagia. Melk pengen kasih yang terbaik buat dia."

"Dan kamu akan melakukannya, Melk," sahut Haechan lembut. "Kaka lihat bagaimana Melk udah berusaha keras, bagaimana Melk perhatian sama setiap detail kecil untuk dede. Dede udah sangat beruntung punya ibu seperti Melk."

Mark tersenyum tipis, sedikit lega mendengar kata-kata Haechan. Ia menatap suaminya dengan mata yang penuh rasa syukur. "Terima kasih, kak... Melk nggak tahu apa yang Melk lakukan tanpa kaka."

Hari itu berlalu dengan penuh kehangatan dan dukungan. Di malam hari, Haechan menyiapkan makan malam sederhana, sementara Mark duduk di meja dapur, mengamati setiap gerakan Haechan dengan kagum. Mereka menikmati makan malam sambil berbincang santai tentang masa depan—tentang bagaimana kehidupan mereka akan berubah setelah dede lahir, dan bagaimana mereka akan membesarkannya dengan penuh cinta.

Setelah makan malam, mereka kembali ke kamar bayi, hanya untuk duduk di sana dan merasakan ketenangan yang memancar dari ruangan itu. Haechan duduk di kursi goyang sambil menggandeng tangan Mark, yang duduk di sebelahnya. Mereka berbicara tentang rencana jangka panjang—dari sekolah untuk dede hingga perjalanan keluarga yang ingin mereka lakukan suatu hari nanti.

"Tapi yang paling penting," kata Haechan sambil menatap mata Mark, "kita akan pastikan dede selalu merasa dicintai."

Mark mengangguk setuju. "Iya, kak. Itu yang paling penting."

Beberapa minggu kemudian, waktu untuk check-up rutin Mark tiba lagi. Kali ini, Mark merasa lebih tenang. Dukungan dari Haechan, bubu, dan keluarga mereka membuatnya lebih percaya diri. Pagi itu, sebelum mereka berangkat ke rumah sakit, Haechan memberi Mark pelukan erat dan berkata, "Apa pun yang terjadi hari ini, kaka akan ada di samping Melk. Kita jalani ini bersama, oke?"

Mark mengangguk dan tersenyum. Meskipun masih ada sedikit rasa takut, kali ini ia tidak merasa sendirian. Setibanya di rumah sakit, Mark menggenggam tangan Haechan erat-erat. Mereka disambut oleh suster yang ramah, yang mengarahkan mereka ke ruang pemeriksaan.

Saat mereka menunggu dokter datang, Mark merasa jantungnya berdebar-debar. Namun, ketika Haechan menepuk lembut tangannya, Mark merasa sedikit lebih tenang. "Melk bisa melakukan ini," bisik Haechan dengan senyuman menenangkan.

Dokter akhirnya datang dan menyapa mereka dengan senyuman hangat. "Apa kabar, Seo Mark? Sudah siap melihat perkembangan bayi kita hari ini?"

Mark mengangguk pelan, meski sedikit gugup. Haechan berdiri di sampingnya, tak pernah melepaskan genggaman tangan mereka. Pemeriksaan dimulai, dan suara detak jantung bayi terdengar jelas di seluruh ruangan, membuat Mark hampir menangis bahagia.

“Detak jantungnya kuat dan sehat,” kata dokter dengan senyuman. “Semua tanda menunjukkan perkembangan yang sangat baik.”

Mark tersenyum lega, air mata kebahagiaan jatuh di pipinya. Haechan menatapnya dengan bangga dan penuh cinta. "Lihat, sayang, dede kita sehat. Melk udah melakukan yang luar biasa."

Setelah pemeriksaan selesai, mereka berdua keluar dari rumah sakit dengan hati yang lebih ringan. Sepanjang perjalanan pulang, Mark tak bisa berhenti tersenyum. "Kak, akhirnya... Melk bisa lihat dede lagi. Melk nggak sabar ketemu dia."

Haechan merangkul Mark dengan penuh kasih. "Kaka juga nggak sabar"

---
tbc~~~~

Baby Lion (HyuckMark)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang