Naya berdiri di tepi pantai, menatap langit kelabu yang mencerminkan hatinya yang penuh kesedihan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, seolah mencoba menghibur jiwa yang tertekan. Di balik senyum palsunya, terpendam luka yang mendalam akibat perceraian orang tuanya, sebuah kenyataan yang telah membentuknya menjadi sosok yang lebih kuat namun juga lebih rapuh. Suara ombak yang menghantam pantai membuatnya teringat pada kenangan-kenangan indah yang kini terasa jauh dan tak terjangkau.Hari itu, pantai tampak sepi, hanya dihuni oleh Naya dan pikirannya yang berlarian ke sana ke mari. Dia mengenakan kaos putih longgar dan celana denim, berpadu dengan sandal jepit yang ia pilih dengan hati-hati. Sebuah scarf berwarna cerah melilit lehernya, seakan menjadi pelindung dari angin dingin yang menusuk tulang. Naya menghela napas dalam-dalam, berusaha menyingkirkan rasa sesak di dadanya, namun gagal. Sebagai seorang gadis berusia delapan belas tahun, seharusnya ia merasakan kebebasan dan keceriaan, tetapi hidupnya lebih mirip dengan awan kelabu yang selalu menggelayut di atas kepala.
Pikirannya melayang pada saat-saat terakhir yang dihabiskan bersama keluarganya sebelum semuanya berubah. Makan malam yang hangat di meja, tawa yang menghiasi suasana, dan cerita-cerita yang dibagikan di antara mereka—semua itu terasa seperti mimpi yang kini sudah berakhir. Ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai, semua itu lenyap dalam sekejap. Rasa sakit akibat pengkhianatan yang ia rasakan, tidak hanya dari perpisahan, tetapi juga dari kenyataan bahwa cinta yang ia percayai ternyata tidak cukup kuat untuk bertahan.
Dia merasa kesepian, dan di tengah keramaian teman-teman di sekolah, dia merasa terasing. Mereka semua tampak memiliki kehidupan yang sempurna—sebuah keluarga yang utuh, dukungan yang penuh, dan cinta yang tulus. Sementara itu, Naya sering kali mendapati dirinya berjuang untuk menemukan alasan untuk tersenyum. Ketidakpastian menggelayuti setiap langkahnya. Dia mengingat bagaimana ayahnya pergi dengan wanita lain dan bagaimana ibunya tampak seperti bayangan dari diri yang pernah dikenal Naya. Ibu yang dulu ceria kini sering kali terlihat kosong, dan Naya merasa seolah harus menjadi penguat bagi ibunya, walaupun dirinya sendiri juga rapuh.
Naya berbalik dan melihat ombak yang menghantam batuan di tepi pantai. Setiap gelombang yang datang seakan membawa kenangan-kenangan pahit, menghempaskan rasa sakit dan kesedihan ke dalam hatinya. Dia mengingat saat pertama kali merasakan kehilangan. Di usia yang begitu muda, dia seharusnya tidak merasakan beban seperti ini. Namun, kehidupan sering kali tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Saat dia melangkah lebih dekat ke air, sejuknya air laut menyentuh kakinya. Naya merasakan kenikmatan sejenak, seolah air dapat membersihkan semua kesedihan yang mengendap di hatinya. Dia ingin merasakan kebebasan yang pernah dia impikan, tapi bayangan gelap dari masa lalu terus membayangi langkahnya. Setiap kali dia berusaha untuk melangkah maju, dia selalu teringat pada luka yang belum sembuh.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam desiran ombak. Di sekelilingnya, seolah semua berfungsi seperti biasanya—matahari masih bersinar meskipun terhalang awan, burung-burung masih terbang di angkasa, dan deburan ombak terus menerus menghantam pantai. Namun, di dalam hatinya, semua itu terasa hampa.
Naya teringat pada kawan-kawannya. Mereka telah berusaha memberikan dukungan, tetapi Naya merasa tidak ada yang benar-benar mengerti. Dia tidak ingin menjadi beban bagi mereka; dia tidak ingin terlihat lemah. Setiap kali mereka bertanya tentang ayah dan ibunya, dia hanya bisa tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Dia takut jika dia membuka mulut, semua kepedihan itu akan tumpah dan menyakiti bukan hanya dirinya tetapi juga orang-orang di sekitarnya.
Langit semakin gelap, dan awan mulai menumpuk, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Naya melangkah kembali menjauh dari air, dan duduk di atas pasir yang lembut. Ia menarik lututnya ke dada, membungkus dirinya dengan pelukan. Di saat seperti ini, hanya keheningan dan suara ombak yang menemani. Dia merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional. Rasa kehilangan itu seakan tidak pernah pergi, seolah mengakar dalam jiwa.
Dia teringat pada saat pertama kali mendengar berita perceraian orang tuanya. Hari itu seharusnya menjadi hari bahagia—ulang tahun ibunya. Naya telah merencanakan sebuah kejutan dengan membuat kue ulang tahun dan membeli bunga. Namun, saat mereka berkumpul di meja makan, suasana mendadak berubah. Ayahnya yang biasanya ceria dan penuh kasih, tampak tegang. Dengan suara bergetar, dia mengungkapkan keputusan yang telah lama dipikirkan. Naya merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya saat itu. Rasa marah, bingung, dan kesedihan bersatu dalam hatinya.
Air mata mengalir di pipinya, dan Naya tidak berusaha untuk menghapusnya. Dia sudah terbiasa dengan kesedihan ini, meskipun hatinya menjerit meminta keadilan. Setiap kali ia memikirkan betapa mudahnya ayahnya meninggalkan mereka, kemarahan itu kembali menggelora. Dia merasa dikhianati, bukan hanya oleh ayahnya tetapi juga oleh cinta yang dia percayai. Apakah cinta itu hanya sebuah ilusi? Apakah semua yang dia jalani selama ini adalah kebohongan?
Sejenak, dia berusaha untuk tidak berpikir. Membiarkan diri tenggelam dalam suasana sekitarnya. Suara ombak, aroma laut, dan angin yang berhembus membawa sedikit ketenangan. Naya menutup matanya, berusaha mengabaikan beban emosional yang terasa semakin berat. Dia berharap, suatu saat dia akan bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaannya, menemukan cara untuk berdamai dengan masa lalu.
Seorang bocah kecil berlari-lari di sekitar pantai, tertawa ceria. Naya membuka matanya dan melihat senyum lebar di wajah bocah itu. Dia teringat akan masa kecilnya—masa-masa ketika hidup terasa lebih sederhana, sebelum beban kehidupan menghimpitnya. Dia merindukan masa-masa itu. Di dalam hatinya, dia ingin mengembalikan waktu, kembali ke saat-saat ketika semuanya masih baik-baik saja.
"Naya, ayo kita bermain!" teriak sahabatnya, Rania, yang datang mendekat. Senyumnya mampu membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan yang mengelilingi Naya. Rania selalu tahu kapan Naya membutuhkannya. "Kamu tidak sendirian. Aku di sini."
Naya tersenyum tipis. Dia tahu Rania berusaha untuk menghiburnya, tetapi kadang-kadang, kata-kata tidaklah cukup. Dia ingin berteriak, ingin meluapkan semua rasa sakit yang terpendam. Namun, di hadapan sahabatnya, dia berusaha untuk tetap tegar. Dia tidak ingin membuat Rania merasa bersalah atau terbebani. "Aku hanya butuh waktu," jawab Naya pelan.
Rania duduk di sampingnya, merangkul Naya dengan lembut. "Kadang, kita memang butuh waktu. Tapi kamu harus ingat, kamu tidak sendirian. Kita bisa melewati ini bersama-sama."
Mendengar kata-kata sahabatnya, Naya merasakan secercah harapan. Mungkin memang ada jalan untuk keluar dari kegelapan ini. Mungkin, hanya dengan dukungan dan cinta dari orang-orang terkasih, dia bisa menemukan kembali sinar di dalam hidupnya.
"Terima kasih, Rania," ucap Naya dengan suara bergetar. "Aku akan berusaha."
Mereka duduk di sana, di tepi pantai, mendengarkan deburan ombak yang menenangkan. Meskipun hati Naya masih penuh luka, dia tahu bahwa ada harapan di ujung jalan. Dengan langkah-langkah kecil, dia bertekad untuk menjalani setiap hari, mencari cahaya di balik awan gelap. Dalam prosesnya, dia berharap bisa menemukan kembali jati dirinya, dan pada akhirnya, meraih kebahagiaan yang layak untuknya.
Awan mulai berarak, memperlihatkan secercah cahaya dari langit. Seolah dunia mengingatkan Naya bahwa meskipun hidup sering kali dipenuhi kesedihan, harapan selalu bisa muncul di tengah kegelapan. Dia menatap langit dengan penuh harapan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa sedikit tenang.
Naya tahu perjalanannya masih panjang, tetapi dia siap untuk melangkah. Bersama Rania dan dukungan orang-orang terkasih, dia bertekad untuk menatap masa depan dengan harapan baru. Dia ingin bangkit dari luka ini, menemukan kembali kekuatannya, dan meraih kebahagiaan yang selama ini dia cari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Lagi Sama
RandomNaya, gadis remaja berusia 17 tahun, merasa dunianya hancur ketika orang tuanya bercerai dan ayahnya, menikah lagi. Meskipun Fahri masih sering terlihat di kehidupan Naya secara fisik, namun kehadiran emosionalnya terasa semakin jauh. Naya tumbuh me...