Bab 4.1: Menghadapi KetakutanSetelah sukses dengan proyek mural di sekolah, Naya merasakan angin segar dalam hidupnya. Namun, di balik senyumnya, ada ketakutan dan keraguan yang menggelayuti pikirannya. Ia tahu bahwa dia perlu berbicara tentang perasaannya—terutama kepada ibunya yang akhir akhir ini tampak selalu sibuk. Pada suatu sore, Naya memutuskan untuk mengumpulkan keberanian dan membuka diri.
Saat pulang sekolah, Naya menemukan ibunya duduk di ruang tamu, sibuk mengurus dokumen di meja kerja. "Ibu, bisa bicara sebentar?" Naya bertanya dengan suara pelan.
Ibunya, Ibu Mira, mengangkat kepala dan tersenyum. "Tentu, sayang. Ada apa? Kau terlihat sedikit cemas," jawabnya sambil menyimpan dokumen dan mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Naya.
Naya duduk di samping ibunya, merasakan detakan jantung yang semakin cepat. "Aku... ingin bercerita tentang sesuatu yang penting," ucap Naya, berusaha menenangkan diri.
"Baiklah, ceritakan saja. Ibu selalu ada untukmu," Ibu Mira menatapnya dengan perhatian.
Naya menghela napas dalam-dalam. "Aku baru saja menyelesaikan proyek mural di sekolah bersama Rania dan teman-teman. Itu sangat menyenangkan, tetapi... ada yang ingin aku bicarakan lebih dalam," ucapnya, menatap tangan sendiri.
"Aku senang mendengar itu! Muralnya pasti indah. Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Ibu Mira, membelai punggung Naya lembut.
"Aku merasa senang saat menggambar dan bekerja sama dengan teman-teman, tapi... kadang aku merasa tidak cukup baik. Seperti, aku takut tidak bisa memenuhi harapan orang-orang," Naya mengungkapkan, suaranya mulai bergetar.
Ibu Mira menatapnya dengan serius. "Sayang, semua orang memiliki ketakutan dan keraguan. Itu hal yang wajar. Yang terpenting adalah bagaimana kau menghadapi perasaan itu. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"
Naya menggigit bibirnya, mengumpulkan kata-kata. "Aku takut kalau semua orang di sekitarku akan kecewa padaku. Sejak kecil, aku merasa harus sempurna. Ibu dan ayah selalu mengharapkan aku menjadi yang terbaik. Dan... saat aku melihat teman-temanku bisa menggambar dengan lebih baik, aku merasa tidak berharga," ujarnya, air mata mulai menggenang di matanya.
"Oh, Naya..." Ibu Mira merangkulnya erat. "Kau tidak perlu merasa seperti itu. Tidak ada yang sempurna, dan tidak ada orang yang mengharapkanmu menjadi seperti itu. Kami hanya ingin kau bahagia dan melakukan yang terbaik sesuai kemampuanmu."
Naya mengangguk, tetapi rasa sakit di hatinya masih terasa. "Aku ingin berbicara lebih banyak tentang seni. Itu membuatku merasa hidup, tetapi aku takut kalau suatu saat aku tidak bisa melakukannya lagi. Seperti, jika aku gagal, apa yang akan terjadi pada impianku?"
Ibu Mira menarik napas panjang, mencoba meresapi setiap kata. "Apa yang kau inginkan dari seni ini? Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya?" tanya Ibu Mira.
"Rasanya, saat aku menggambar, semua beban di pundakku hilang. Itu adalah cara aku mengekspresikan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dan saat melihat mural kami, aku merasa bangga. Tapi saat itu juga, aku takut tidak bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik di masa depan," jawab Naya, suaranya bergetar saat ia mengungkapkan harapannya.
Ibu Mira mengangguk, memahami perasaan putrinya. "Itu adalah hal yang wajar. Ketika kita mencintai sesuatu, kita ingin menjadi yang terbaik di dalamnya. Namun, ingatlah bahwa perjalanan itu juga penting. Tidak selalu tentang hasil akhir, tetapi prosesnya. Apa pun yang terjadi, percayalah pada dirimu sendiri."
Naya mengusap air matanya, merasa sedikit lebih ringan. "Tapi bagaimana kalau orang-orang menganggap aku gagal? Bagaimana kalau aku tidak berhasil membuat karya yang berarti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Lagi Sama
AcakNaya, gadis remaja berusia 17 tahun, merasa dunianya hancur ketika orang tuanya bercerai dan ayahnya, menikah lagi. Meskipun Fahri masih sering terlihat di kehidupan Naya secara fisik, namun kehadiran emosionalnya terasa semakin jauh. Naya tumbuh me...