Bagian 8: Kesadaran dan Penerimaan

1 0 0
                                    

Bab 8.1: Penerimaan Diri

Naya duduk di tepi jendela kamarnya, menatap langit sore yang perlahan berubah warna. Cahaya oranye keemasan menyinari wajahnya, memberinya rasa tenang yang aneh. Sudah berbulan-bulan sejak Aldo tiba-tiba pergi tanpa kabar, dan meskipun perasaan sakit itu masih terasa di hatinya, ada sesuatu yang berbeda sekarang.

"Aku harus berubah," gumamnya pada diri sendiri. Sejak pertemuannya dengan orang yang mirip ayahnya, Naya mulai menyadari bahwa banyak hal dalam hidupnya yang masih perlu diselesaikan. Bukan soal orang lain, tapi tentang dirinya sendiri.

Ponselnya bergetar di meja, mengalihkan perhatiannya. Sebuah pesan dari Rania muncul di layar:

Rania: 'Hey, ada waktu buat ngobrol? Mau cerita sesuatu nih!'

Naya tersenyum kecil dan segera mengetik balasan.

Naya: 'Tentu, aku di rumah. Datang aja kalau mau.'

Beberapa menit kemudian, Naya mendengar suara pintu diketuk. "Masuk aja, Ran!" serunya.

Rania muncul dengan senyum lebar, membawa sekotak es krim. "Aku tahu ini bakalan ngebantu kamu," katanya sambil menaruh es krim itu di meja.

"Ah, kamu selalu tahu cara memperbaiki moodku," Naya tertawa kecil, mengambil sendok dan mulai menyendok es krim. "Ada apa? Kamu tadi bilang mau cerita sesuatu."

Rania duduk di kursi sebelah tempat Naya duduk. "Sebenarnya, ini lebih tentang kamu. Aku kepikiran soal kamu yang beberapa bulan ini kelihatan beda."

Naya terdiam sejenak, sendok es krimnya berhenti di udara. "Beda? Maksudmu?"

"Ya, beda. Kamu kelihatan lebih... tenang, lebih dewasa. Aku ingat beberapa bulan lalu kamu selalu khawatir soal Aldo, soal ayahmu, bahkan soal dirimu sendiri. Tapi sekarang, kamu kayaknya lebih menerima semuanya."

Naya mendesah, menatap sendok di tangannya. "Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi jujur, itu bukan proses yang gampang, Ran. Awalnya aku juga nggak tahu harus mulai dari mana."

Rania mengangguk penuh perhatian. "Itu wajar, Nay. Kamu udah banyak melalui hal berat, dan aku bangga kamu bisa ada di titik ini sekarang. Tapi aku penasaran, apa yang bikin kamu berubah?"

Naya tersenyum tipis. "Ada banyak hal yang terjadi, mungkin pertemuanku dengan orang yang mirip ayahku itu salah satunya. Waktu aku lihat dia, aku jadi ingat banyak kenangan masa kecil, sebelum semuanya berubah. Aku jadi sadar bahwa bukan cuma orang lain yang pergi dari hidupku, tapi aku juga yang menjauh dari diriku sendiri."

Rania menatapnya penuh perhatian, terlihat betapa dalamnya perubahan dalam diri sahabatnya. "Maksudmu? Kamu merasa kamu menjauh dari dirimu sendiri?"

Naya mengangguk pelan. "Selama ini aku selalu berpikir kalau aku nggak cukup baik. Entah itu buat ayahku, Aldo, atau bahkan buat diriku sendiri. Aku selalu berusaha menyenangkan orang lain, tapi aku lupa gimana caranya buat terima diri sendiri."

"Kamu selalu merasa seperti itu?" tanya Rania lembut, sedikit terkejut.

Naya menarik napas dalam, lalu menghela perlahan. "Iya, tapi aku baru benar-benar sadar setelah Aldo pergi. Aku sempat merasa ditinggalkan lagi, seperti semua yang dekat denganku selalu menjauh. Tapi kenyataannya, aku juga yang menjauh dari diriku sendiri. Aku terlalu keras sama diri sendiri."

Rania mendekatkan diri, menggenggam tangan Naya dengan erat. "Nay, kamu nggak sendirian dalam perasaan itu. Banyak orang yang merasa kayak gitu, termasuk aku. Tapi kamu sadar, itu langkah pertama untuk berubah. Dan kamu udah mulai, lihat aja sekarang."

Naya tersenyum hangat. "Iya, aku mulai belajar menerima diriku. Aku tahu ini nggak sempurna, tapi aku udah lebih damai sekarang. Aku nggak mau terus-terusan ngerasa kurang hanya karena orang lain pergi."

"Kamu tahu, kamu selalu kuat, Nay," kata Rania dengan penuh ketulusan. "Aku udah lihat betapa kamu bisa menghadapi semuanya, mulai dari kehilangan ayahmu, Aldo, sampai semua hal berat dalam hidupmu. Tapi yang paling penting, kamu mulai menerima dirimu apa adanya. Itu luar biasa."

Naya menunduk, merasa hatinya hangat oleh dukungan sahabatnya. "Aku masih belajar, Ran. Tapi aku mulai tahu gimana caranya untuk nggak terlalu keras sama diriku sendiri."

Rania tertawa kecil. "Aku rasa kamu udah di jalan yang benar. Kamu layak bahagia, Nay. Dan bagian dari kebahagiaan itu adalah menerima siapa kamu, dengan semua kekurangan dan kelebihanmu."

Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suasana tenang di dalam ruangan. Es krim yang sudah mulai meleleh di dalam wadah dibiarkan begitu saja, karena percakapan ini jauh lebih penting.

Setelah beberapa saat, Naya berkata, "Aku juga ngerasa lebih baik soal hubungan dengan Aldo. Aku nggak lagi nyalahin diriku sendiri karena dia pergi. Aku sadar, kalau dia memang nggak bisa bertahan, itu bukan berarti aku yang salah."

Rania tersenyum, bangga dengan perkembangan yang dilihatnya. "Itu benar, Nay. Kamu nggak bisa mengontrol apa yang orang lain lakukan. Tapi kamu bisa mengontrol gimana kamu bereaksi. Dan kalau Aldo memang nggak kembali, mungkin itu memang jalan yang terbaik buat kamu."

Naya mengangguk, merasa lebih yakin dengan keputusan-keputusannya. "Aku setuju. Dulu aku selalu berpikir kalau ada yang salah sama aku. Tapi sekarang, aku lebih tahu bahwa aku layak untuk dicintai, dan bukan tanggung jawabku untuk menjaga orang-orang yang memilih pergi."

Rania tertawa pelan. "Itu kayaknya quote yang bagus buat dibikin status."

Naya ikut tertawa. "Mungkin aku bisa jadi motivator suatu hari nanti."

"Siapa tahu," canda Rania sambil mengambil es krim yang tersisa. "Tapi yang jelas, kamu udah mulai menemukan kedamaian dalam dirimu sendiri, dan itu lebih dari cukup. Kamu udah jauh lebih baik daripada beberapa bulan lalu."

Naya tersenyum. "Iya, aku rasa begitu. Dan aku bersyukur punya kamu di sampingku, yang selalu ngingetin aku untuk tetap kuat."

"Aku juga bersyukur punya sahabat kayak kamu, Nay. Kamu inspirasiku," kata Rania sambil menggenggam tangan Naya sekali lagi.

Setelah Rania pulang, Naya duduk sendirian di kamarnya, merenung tentang semua yang telah dia alami. Dia tahu bahwa hidupnya masih akan penuh dengan tantangan, tapi sekarang, dia lebih siap untuk menghadapi semuanya. Dia sudah belajar untuk mencintai dan menerima dirinya sendiri, dan itu adalah kekuatan yang tak tergantikan.

Dia menatap cermin, melihat bayangannya sendiri. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia tidak lagi merasa asing dengan dirinya sendiri. Dia tersenyum pada bayangan itu, merasa lebih damai.

"Aku cukup," bisiknya pelan. "Aku layak bahagia."

Dan dengan itu, Naya tahu bahwa dia siap untuk melangkah ke babak baru dalam hidupnya—babak di mana dia tidak lagi takut pada ketidakpastian, tapi justru menerima setiap tantangan dengan hati yang terbuka.

Langit Tak Lagi SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang