Bab 2.4: Patah Hati Keluarga
Setelah momen emosional yang mengharukan bersama ibunya dan lukisan yang menggambarkan rasa sakitnya, Naya merasa ada harapan baru yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Namun, harapan itu terguncang ketika ia kembali menghadapi kenyataan pahit yang menyakitkan. Hari itu, Naya melihat ayahnya, Ramadhan, menghabiskan waktu dengan anak-anak istri barunya di taman rumah mereka.
Naya duduk di bangku taman, menyaksikan dari kejauhan saat ayahnya tertawa lepas dengan dua anak kecil yang baru saja ia kenal. Melihat mereka berlari-lari dan bermain, hatinya terasa sesak. Kenangan akan masa-masa bahagia bersama ayahnya muncul kembali, mengingatkan pada semua yang telah hilang.
"Kenapa dia bisa tertawa seperti itu?" Naya bergumam pelan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Seolah-olah aku tidak pernah ada."
Rania, yang kebetulan sedang berjalan mendekat, menyadari ekspresi sedih di wajah Naya. "Naya? Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan khawatir, duduk di samping Naya.
Naya menggeleng, mencoba mengalihkan perhatiannya. "Aku... aku hanya merasa bingung, Rania," katanya, suaranya bergetar.
"Apa yang terjadi?" Rania bertanya, penuh perhatian. "Kamu ingin bercerita?"
Naya menatap ke arah ayahnya yang sedang bermain. "Lihatlah dia... Dia tampak bahagia. Seolah-olah kehadiranku tidak berarti lagi baginya," Naya berkata dengan penuh rasa sakit. "Aku merindukannya, Rania."
Rania menatap ke arah yang sama. "Itu pasti sulit. Tetapi, ingatlah, itu bukan salahmu. Dia hanya berusaha membangun kehidupan barunya," Rania berusaha menenangkan.
"Tapi bagaimana bisa dia melupakan semua kenangan kita? Kenapa dia tidak pernah mencoba untuk mencari tahu tentang aku? Kenapa dia tidak berusaha untuk mendekat?" Naya merasa air mata mengalir di pipinya, tidak mampu menahan kesedihannya.
"Aku mengerti," Rania menjawab lembut. "Kehilangan adalah hal yang menyakitkan. Terkadang orang berusaha untuk melanjutkan hidup dengan cara mereka sendiri, bahkan jika itu terasa salah bagi kita."
Naya menundukkan kepala, merasa hancur. "Tapi aku merasa seperti terbuang. Dia seolah-olah tidak pernah peduli lagi."
Rania menggenggam tangan Naya dengan erat. "Kamu tidak sendiri. Kamu memiliki Ibumu, dan kamu juga bisa mengandalkanku. Kita bisa menghadapi ini bersama," katanya, berusaha memberi semangat.
Tiba-tiba, suara tawa anak-anak memecah kesunyian. "Ayah, lihat! Aku bisa melompat lebih tinggi!" salah satu anak berteriak dengan ceria, membuat Naya merasa semakin terasing.
Naya menggigit bibirnya, menahan isak tangis. "Dia tidak pernah seperti itu bersamaku," bisiknya, suaranya penuh kesedihan.
"Mungkin dia membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua ini. Kami semua merasakannya dengan cara yang berbeda," Rania menjawab dengan penuh pengertian.
"Aku tahu, tetapi hati ini tetap terasa sakit," Naya meratapi. "Setiap kali aku melihatnya bersenang-senang, aku merasa seolah-olah bagian dari diriku hilang."
"Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Rania, mencoba mengganti topik dengan lebih ringan.
"Entahlah. Mungkin aku harus berbicara dengan Ibu lagi. Tapi aku takut... takut semuanya akan semakin buruk," Naya menjawab ragu.
Rania mengangguk. "Berbicara bisa membantu. Tapi kamu harus siap dengan segala kemungkinan. Mungkin Ibumu juga merasa kehilangan yang sama."
"Ya, Ibu...," Naya menjawab, teringat akan ibunya yang selalu ada untuknya. "Tapi kadang aku merasa Ibu juga berjuang untuk memahami perasaanku. Seolah-olah kami terpisah oleh rasa sakit ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Lagi Sama
RandomNaya, gadis remaja berusia 17 tahun, merasa dunianya hancur ketika orang tuanya bercerai dan ayahnya, menikah lagi. Meskipun Fahri masih sering terlihat di kehidupan Naya secara fisik, namun kehadiran emosionalnya terasa semakin jauh. Naya tumbuh me...