Bab 9.1: Memperjuangkan ImpianNaya menatap kanvas putih di depannya dengan tekad. Dia sudah berusaha keras selama beberapa bulan terakhir, dan sekarang saatnya untuk memperlihatkan hasil kerja kerasnya. Pameran seni pertama yang dia ikuti akan segera berlangsung, dan Naya ingin memberikan yang terbaik.
"Apakah kamu sudah siap, Nay?" Rania bertanya, masuk ke ruang studio kecil Naya.
"Belum sepenuhnya. Aku masih merasa ada yang kurang," jawab Naya, sambil mengaduk cat di paletnya.
"Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Karya seni itu adalah ekspresi dirimu. Apa pun yang kamu ciptakan, itu sudah luar biasa," Rania memberikan semangat.
"Terima kasih, Rania. Tapi aku ingin hasilnya sempurna," Naya menjawab, menggaruk kepalanya.
Dika yang baru tiba membawa beberapa camilan. "Naya, kamu butuh istirahat. Mari kita makan dulu. Makanan bisa memicu inspirasi, loh!" katanya sambil mengeluarkan makanan ringan dari tasnya.
"Baiklah, baiklah. Cukup sedikit waktu untuk bersantai," Naya mengalah, tersenyum pada Dika.
Mereka bertiga duduk di atas karpet di ruang studio. Rania mengambil sepotong camilan dan berkata, "Jadi, Naya, apa tema lukisanmu kali ini?"
"Ini tentang perjalanan mencari jati diri," Naya menjelaskan. "Aku ingin menunjukkan bagaimana kita kadang terjebak dalam ekspektasi orang lain, tetapi pada akhirnya kita menemukan jalan kita sendiri."
"Wow, itu sangat mendalam!" Dika berseru. "Aku tidak sabar untuk melihatnya. Kamu sudah berbagi semua ini dengan kami, jadi kami bisa mendukungmu."
"Benar! Kita akan menjadi pengunjung pertama di pameranmu," Rania menambahkan, dengan penuh semangat.
Naya merasa lebih tenang mendengar dukungan teman-temannya. "Kamu tahu, kadang aku merasa ragu. Apa orang lain akan mengerti pesan di balik lukisanku?" Naya mengungkapkan keraguannya.
"Setiap orang memiliki cara mereka sendiri dalam memahami seni," Dika menjawab. "Yang penting adalah kamu percaya pada dirimu sendiri dan pada karyamu."
"Benar! Selama kamu mencurahkan hati dan pikiranmu ke dalamnya, itu sudah cukup," Rania menambahkan.
Mereka terus bercakap-cakap dan tertawa, membuat Naya merasa lebih bersemangat. Ketika mereka selesai makan, Naya kembali ke kanvasnya. "Baiklah, saatnya kembali bekerja. Aku ingin menyelesaikan ini sebelum hari H."
Sementara Naya melukis, Rania dan Dika membantunya dengan memberi masukan. "Mungkin bagian ini bisa lebih cerah, Nay," saran Rania sambil menunjuk.
"Setuju! Ini butuh lebih banyak warna," Dika menambahkan.
Naya tersenyum mendengar saran mereka. "Oke, terima kasih! Aku akan mencoba."
Beberapa hari berlalu, dan pameran semakin dekat. Naya terus bekerja tanpa lelah, tetapi setiap kali dia merasa semakin dekat, keraguan mulai kembali mengganggu. Suatu malam, saat mereka bertiga berlatih untuk presentasi, Naya merasa tegang.
"Kenapa kamu tampak cemas, Nay?" Rania bertanya.
"Aku hanya merasa tidak yakin. Apa kalau aku salah menjelaskan karyaku, orang-orang akan berpikir aku tidak bisa melukis?" Naya mengungkapkan rasa khawatirnya.
Dika menatapnya dengan serius. "Naya, ingat bahwa kita semua pernah merasa seperti ini. Ketidakpastian adalah bagian dari proses belajar. Kamu hanya perlu berbagi apa yang kamu rasakan saat menciptakan lukisan itu."
"Ya, jangan khawatir tentang penilaian orang lain. Fokuslah pada pengalamanmu sendiri," Rania menambahkan.
"Terima kasih, teman-teman. Kamu selalu membuatku merasa lebih baik," Naya tersenyum, merasakan kehangatan dari dukungan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Lagi Sama
RandomNaya, gadis remaja berusia 17 tahun, merasa dunianya hancur ketika orang tuanya bercerai dan ayahnya, menikah lagi. Meskipun Fahri masih sering terlihat di kehidupan Naya secara fisik, namun kehadiran emosionalnya terasa semakin jauh. Naya tumbuh me...