Prolog

103 49 98
                                    

~Happy reading~

Hujan turun dengan derasnya, membasahi kaca jendela kamar yang mulai berembun. Aku duduk di tepi ranjang, menatap layar ponsel yang tiba-tiba bergetar, menghadirkan pesan terakhir yang tidak pernah aku duga akan datang.

Nafiz-seseorang yang selalu penuh pertimbangan dalam setiap kata-katanya, kini menyampaikan sesuatu yang berbeda. Setiap kata terasa seperti duri yang perlahan menyusup ke dalam hati.

"Naya, aku mau bicara, sebenarnya .... aku merasa sakit, merasa berkhianat pada diri sendiri. Waktu aku lagi shalat atau baca Al-qur'an. Isinya kan do'a, mohon ampun, minta surga, dalil tentang surga neraka, keimanan, larangan mendekati zina .... dan aku merasa berdosa setiap kali inget hubungan kita. Bahkan pegangan tangan yang biasanya aku hindari, sekarang terasa menyakitkan kalau dipikir-pikir lagi."

Aku membaca ulang kata-katanya, dan entah kenapa, hujan yang deras di luar seolah mencerminkan hatiku yang mulai basah oleh kesedihan. Nafiz, dengan segala kesederhanaan dan ketulusannya, kini sedang menumpahkan isi hatinya. Bukan karena dia tidak mencintai-tetapi karena cinta kami yang seolah bertabrakan dengan keyakinannya.

"Kamu pernah nyinggung juga kan, gimana kalo besok aku mati? Aku gak mau catatan terakhirku kebanyakan dosanya. Berkhalwat itu terlalu berat buat aku, Nay. Ternyata pacaran bukan gayaku. Aku nggak bisa banyak ngomentarin kamu, kan kata kamu kita bukan suami istri. Aku juga gak mau nambah dosa kamu."

Air mata jatuh begitu saja tanpa bisa kucegah, mengalir di pipiku bersamaan dengan derasnya hujan di luar. Nafiz, yang selama ini selalu menjaga jarak, kini semakin jauh. Bukan karena dia berhenti mencintaiku, tetapi karena apa yang kami jalani terasa seperti dosa yang membebani.

"Al-Hasyr:18, kita disuruh mempersiapkan masa depan, akhirat dengan ketaqwaan. Al-isra:32, kita dilarang mendekati zina. Aku ini munafik, ya?"

Aku menatap layar ponsel, perasaan hampa mulai memenuhi ruang hatiku. Nafiz yang selalu teguh pada keyakinannya, kini meragukan dirinya sendiri. Dan aku ..... aku tahu, ini perpisahan tak terhindarkan, bukan karena kekurangan cinta, tapi karena keyakinan yang lebih besar dari sekedar kasih sayang.

Hujan di luar masih belum berhenti. Di malam yang sunyi ini .... aku sadar bahwa cinta tak selalu berarti bersama. Kadang, cinta berarti melepaskan seseorang, meskipun itu adalah hal yang paling sulit dan menyakitkan.

"Naya, aku bukan tidak mencintaimu, tapi meskipun aku punya hati dan perasaan, Allah punya aturan."

Aku membiarkan pesan itu menggantung di udara, menyesap setiap kata yang tersisa. Dalam hati, aku berharap agar keputusan ini tidak membuatnya kehilangan arah. Nafiz adalah bagian dari hidupku, tapi aku tahu, demi kebaikannya dan keyakinannya, aku harus rela melepaskan.

Cinta yang tulus kadang mengharuskan kita untuk memberikan ruang bagi seseorang untuk menemukan jalan yang lebih baik-meskipun itu berarti melupakan diri kita sendiri.

~Thank you for reading~
~See u in the next chapter, love you all guys <3~

***

~Jangan lupa vote, comment and stay tuned in my stories, dukungan kalian sangat berarti bagi aku dan perkembangan cerita aku ^^~

#Pensi #Eventpensi #PensiVol15 #Teorikatapublishing

Bumantara PremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang