Bab 9

9 4 11
                                    

"Rumah itu seperti pohon, kuat karena akarnya. Ketika akarnya rusak, seluruh pohon kehilangan keseimbangannya, begitu pula rumah tanpa fondasi cinta dan kepercayaan."



~Happy reading~

Sesampainya di rumah, aku memarkirkan motor dengan hati lega. "Assalamu'alaikum, Ummi. Naya pulang!" panggilku, namun tak ada sahutan dari dalam. Aku melepas sepatu dan mulai masuk ke rumah. "Kayaknya Ummi lagi jemput Ali pulang sekolah, ah cape euy .... ummi masak apa ya," gumamku sambil melangkah menuju dapur. Di meja, sudah tertata rapi masakan buatan Ummi. Aku tak bisa menahan diri untuk mencomot satu perkedel kornet kesukaanku. Masya Allah, enak banget ini mah, kayak biasanya, batinku sambil tersenyum.

Saat membuka kulkas untuk mengambil minuman, mataku tertuju pada satu botol minuman rasa stroberi yang mengingatkanku pada Nafiz. Kenapa ya, tiba-tiba jadi kangen Nafiz lagi? Dia kemana sih, dari tadi gak ada kabar, pikirku. Tepat saat aku tenggelam dalam pikiran, suara motor terdengar dari arah luar. "Itu pasti Ummi," dugaanku. Benar saja, Ummi masuk ke rumah dan mengucapkan salam.

Begitu masuk ke dapur dan melihatku masih dengan seragam sekolah, Ummi langsung berkomentar dengan gaya khasnya, "Astagfirullahal'adzim, Gusti nu agung. Ya Allah, anak gadis Ummi, pulang sekolah tuh beresin dulu seragamnya, bebersih dulu baru makan! Dari luar kan kena debu, bakteri, belum lagi langsung comot makanannya gak pakai cuci tangan. Picarekeun wae, ganti dulu bajunya sana!"

Aku hanya bisa menghela nafas mendengar omelannya. "Iya, Ummi, iya... sabar, sekarang juga mau ke atas ganti baju," jawabku sambil mendekat dan mencium tangan Ummi.

"Iya, sok sana! Udah bau kesang, haseum," katanya lagi, kali ini dengan nada bercanda. Aku tertawa kecil, lalu bergegas menuju kamar.

Aku pun naik ke atas untuk mengganti bajuku. Sambil melangkah menuju kamar, senyum kecil tak bisa ku tahan saat mendengar omelan Ummi yang selalu penuh perhatian. Meskipun kadang suaranya terdengar menyebalkan, aku memahami bahwa itu semua berasal dari rasa cintanya yang mendalam. Ummi selalu ingin yang terbaik untukku.

Setelah selesai mengganti baju, aku mencuci tangan dan wajahku, kemudian melangkah turun kembali ke dapur. Di sana, aku mendapati Ummi sudah tidak ada, Mungkin ummi lagi ke warung untuk membeli bahan makanan, batinku. Di ruang tengah, Ali tampak asyik dengan handphone milik Ummi. Seperti biasa, dia pasti sedang menonton video gamer favoritnya, MiawAug. Terkadang, aku juga terjebak dalam tontonan itu, video game horor yang dia tonton selalu memicu adrenalin dan memberikan sensasi tersendiri yang sulit untuk diabaikan.

Dengan perut yang mulai keroncongan, aku kembali ke dapur untuk menikmati masakan Ummi. Aromanya menggoda, dan ku tahu, masakan itu selalu akan jauh lebih enak daripada apa pun yang bisa kutemukan di restoran bintang lima. Setiap suapan seolah menghangatkan hatiku, membuatku bersyukur atas kehadiran Ummi dalam hidupku.

Setelah selesai makan, aku merasa puas dan kembali ke ruang tamu. Di sana, aku membaca buku-buku milik Abi. Abi selalu punya banyak buku bagus yg selalu bisa aku baca, meskipun kebanyakan buku itu memang buku religius, tapi bagus untuk menambah wawasanku.

Karena merasa sudah cukup bosan, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku. Setelah memasuki kamar, aku terduduk diam di atas tempat tidur, termenung sejenak, memikirkan hal-hal yang selama ini selalu ku coba hindari. Pikiran-pikiran yang seharusnya tak perlu diungkit kembali, tetapi entah kenapa tetap muncul.

Meskipun hari ini cukup melelahkan, aku merasa puas. Aku selalu merasa senang dengan jadwalku yang padat, kesibukan semacam ini membantuku mengalihkan pikiran dari hal-hal yang tak ingin ku ingat, terutama tentang Nafiz. Kadang, bayangannya masih saja muncul di benakku tanpa permisi, membuatku bertanya-tanya, mengapa perasaan ini sulit untuk benar-benar ku singkirkan. Meskipun aku tahu kini Nafiz menyukaiku, tetapi aku takut, takut kejadian sebelumnya terjadi lagi.

Bumantara PremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang