Bab 1

149 51 154
                                    

"Takdir mempertemukan kita di bawah langit yang sama. Namun, apakah takdir itu berpihak pada kita?"



~Happy reading~

Namaku Kanaya Calista Permana, biasanya dipanggil Naya. Aku berusia 17 tahun. Hobiku adalah membaca dan berolahraga, terutama taekwondo. Di sekolah aku dikenal sebagai murid yang ambisius. Sampai-sampai teman-temanku menjulukiku piala berjalan. Cita-citaku adalah menjadi seorang dokter dan aku bekerja keras untuk mencapainya.

Aku adalah anak dari seorang pengusaha swasta dan guru di sekolah menengah pertama. Ayah dan ibuku sangat taat beragama. Mereka bahkan sudah menunaikan ibadah haji. Namun, berbeda dengan latar belakang keluargaku. Setelah beranjak dewasa pergaulanku cukup bebas, terutama di SMA, di mana laki-laki dan perempuan berbaur satu sama lain. Aku tidak begitu menjaga pandanganku terhadap laki-laki. Bagiku, kedekatan antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang biasa.

Tapi, semuanya berubah sejak aku mengenal Nafiz Akhdan Musthafa. Dia adalah seorang laki-laki yang mengubah pandanganku tentang kebebasan. Nafiz berbeda dari laki-laki lainnya-dia taat beragama, rajin dan cerdas. Hobinya membaca, memanah dan bersepeda. Nafiz juga seorang anak pesantren, sesuatu yang berlawanan dengan kehidupanku yang bebas.

Dia adalah anak dari seorang perawat dan pemilik restoran cepat saji. Cita-citanya adalah menjadi dokter gigi. Apa yang membuatnya istimewa adalah kegigihan dan rasa tanggung jawabnya yang luar biasa. Melalui Nafiz, aku mulai melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda-tentang kebebasan, tanggung jawab, dan nilai-nilai yang sebelumnya tidak terlalu kupedulikan.

Aku mengenal Nafiz melalui sebuah grup membaca. Awalnya, kami hanya bertukar nomor handphone dan berinteraksi secara virtual. Tidak ada yang istimewa pada awalnya-kami hanya saling mengenal secara sederhana.

Suatu hari, aku melihat dia mengikuti sebuah program PKL, mengajar anak-anak sekolah dasar. Kegiatan itu langsung menarik perhatianku. Aku penasaran dan mulai bertanya tentang kegiatannya. Dari sana, kami mulai lebih sering berkomunikasi dan semakin dekat.

Namun, ada satu hal yang selalu membuatku berpikir Nafiz selalu menjaga jarak denganku. Bahkan dalam pesan singkat sekalipun, dia sangat berhati-hati. Aku bisa merasakan bagaimana dia benar-benar menjaga dirinya agar tidak terlalu dekat dengan lawan jenis. Di balik itu semua, aku merasa kagum. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya memegang prinsip, sesuatu yang membuatku mulai mempertanyakan, kebebasan yang selama ini kupikir sudah benar.

Semakin lama, aku semakin penasaran dengan Nafiz, rasa ingin tahuku terus tumbuh-aku ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya, tentang apa saja kegiatan sehari-harinya. Nafiz adalah sosok yang misterius bagiku, terutama dengan latar belakangnya sebagai anak pesantren.

Aku yang awam dengan dunia pesantren sering bertanya-tanya, Apakah kehidupan disana sama dengan sekolah menengah pada umunya? Bagaimana rutinitasnya? Apa yang membuatnya begitu berbeda?. Pikiran-pikiran ini terus menggelayut di benakku, membuatku semakin ingin lebih dekat dan memahami dunianya yang terasa begitu asing. Akan tetapi, sangat menarik.

Hari itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengan Nafiz. Pertama kalinya aku memandang wajahnya secara langsung. Hari di mana grup membaca kami mengadakan event pertemuan. Aku datang bersama temanku, Dzalika Intan Kania Nosa, dan kami sibuk berbincang sambil mencari buku-buku yang menarik perhatian.

Tiba-tiba seseorang menyapaku dari belakang. Awalnya, aku tidak menyadari siapa itu. "Hai, kamu Naya, kan?" aku menoleh, sedikit bingung. Di depanku seorang laki-laki dengan wajah tampan, senyum yang manis dan lesung pipi yang membuatnya tampak semakin bersinar. Aku hanya bisa berpikir, 'Siapa dia?'

Bumantara PremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang