_________
Dering alarm yang begitu berisik telah mengganggu tidur Alma. Rupanya, ini sudah jam enam pagi. Ada satu jam waktu yang bisa dia gunakan untuk bersiap. Maka, dia segera terduduk, lalu menuruni ranjang, dan bergegas merapikan selimutnya. Namun, begitu mengintip jendela, malah ada sosok Oldy yang melambai padanya dari atas jok Betty.
"Asli. Gue masih mimpi? Bangun, Al, bangun," titah Alma pada dirinya sendiri seraya menggosok kedua mata. Dia sangsi. "Loh. Katanya mau dateng jam tujuh, ini jam enam udah nongol aja."
Tanpa membalas lambaian Oldy, Alma segera mengirim pesan ke Kiara bahwa hari ini dia akan pergi ke kampus bersama sang pujaan hati—ah, bukannya dia lupa akan perkara kemarin, tapi tidak ada salahnya memberi ruang untuk Oldy menjelaskan.
"Bener-bener sinting. Kenapa nggak nelpon gue coba? Udah berapa jam dia di situ coba? Ih, merinding!" Alma bergidik sendiri sembari memasuki kamar mandi. "Kalo gini kan gue jadi nggak enak."
Dalam hitungan menit, Alma jadi harus ekstra cepat bersiap agar tak membuat Oldy menunggu terlalu lama. Tapi hasilnya, dia jadi menabrak sana sini. Bahkan, berdandan pun tidak lagi menjadi kegiatan paling favoritnya saat bersiap.
"Gara-gara Oldy!" geram Alma setelah selesai memoles liptint merah muda ke bibirnya.
***
"Mbak Kintan semalem beli chatime banyak banget. Selusin ada kali. Nih, satu buat lo."
Alma sempat ragu saat menerima sodoran Oldy, tapi laki-laki bermata bulat itu justru meraih tangannya dan meletakkan satu cup regular milk tea di sana.
"Kayaknya, karna galau, dia jadi impulsif beli hal-hal nggak penting gitu."
Alma mengerjap, tapi selanjutnya dia bergumam, "Makasih. Mm, btw, Kak Oldy dari jam berapa di sini?"
"Jam berapa, ya?" Oldy berusaha mengingat sambil melirik arlojinya yang tampak berkilau walau warnanya hitam itu. Alma yakin harganya tak mungkin murah. "Baru setengah jam lalu, kok."
"Kenapa nggak bangunin aku?"
"Kan ini kos cewek masa gue masuk?"
"Maksudku, telpon gitu biar bangun."
"Oh. Nggak, ah. Ntar ganggu."
Alma menghela napas sebelum menyedot boba di minuman manis pemberian Oldy ini. Dia menunggu interaksi selanjutnya sebab Oldy tak kunjung mengangsurkan helm padanya.
"Eh, sori. Ini masih minjem helm-nya Jordan. Gue belum beli buat lo."
Alma refleks memicing. "Kenapa harus beli baru, Kak? Aku kan bukan satu-satunya orang yang dibonceng Kak Oldy."
"Iya, sih. Bukan cuma lo doang, tapi pasti lo yang paling sering."
Alma mencibir, "Kak Oldy tiba-tiba welcome sama aku gini, karna ada maunya, kan? Soal yang kemarin?"
Oldy terang saja langsung tergelagap. Tebakan Alma memang tidak sepenuhnya benar, tapi dia tidak menyalahkan Alma yang menuduhnya mulai terbuka lantaran ada maunya. Bukan karena dia ingin menjadikan Alma sebagai pasangan pengantin pengganti pernikahan Kintan, tapi dia memang ingin—move on dari bayang-bayang seorang Lavi.
"Maaf soal kemarin, Al. Jujur, gue akui ngomong gue ngawur banget. Karna gue udah kepalang bingung. Gue cuma kasian sama Mbak Kintan dan pengen banget nemuin si Disto itu. Gue salah sasaran. Harusnya, gue nggak maksa kayak gitu, apalagi ke lo. Maaf. Gue minta maaf. Maaf."
Runtutan maaf itu terdengar tulus di telinga Alma. Dia tahu ucapan Oldy barusan tak dibuat-buat, pun dengan tatapan matanya yang dilingkupi kesungguhan. Bolehkah dia percaya pada laki-laki ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Very Married
RomanceNiat Alma hanya ingin mencetak stiker wajah Oldy, kating yang dia sukai, untuk ditempel di kulkas kosan, tapi siapa sangka kalau pemilik bisnis kecil itu justru Oldy sendiri? Ajaibnya, setelah beberapa pertemuan singkat, Oldy menikahi Alma untuk men...