08. kejaran waktu

42 6 0
                                    

________

Untuk sejenak, Alma memandangi gaun selutut dengan model A-line yang dia taruh di atas kasur itu. Warnanya hitam, tapi terdapat motif bunga daisy yang memenuhi setiap spot kosong. Cantik. Anggun. Saat menjajalnya di kamar pas tadi, itu tampak elegan begitu membalut badannya. Beberapa kali dia berputar di depan cermin sambil berpikir haruskah dia tunjukkan di depan Oldy?

Pada akhirnya, Alma membuka pintu ketika Oldy mengetuk. Mata bulat Oldy berbinar, padahal Alma malu setengah mati tadi.

"Ini beneran cocok di gue nggak, sih?"

"Cakep, kok. Ya jelas. Pasti harganya setara sama sewa kos gue selama tiga bulan, deh." Kiara berkomentar sambil menyiapkan curling iron yang akan dia gunakan di rambut Alma setelah ini. "Buruan duduk sini. Lo belom make up. Katanya dijemput jam tujuh. Limabelas menit lagi."

"Gue tiba-tiba insecure, deh, Ra."

Kiara segera memulai pekerjaannya, memberi sentuhan keriting di bagian bawah rambut Alma sambil sesekali memandang cermin, baru menyahut, "Telat lo baru ngerasa gitu sekarang. Katanya, mau lo jalanin aja. Ya udah, gas. Lagian, ini tanda dia serius sama lo. Tapi, ati-ati lo di-brainwash keluarganya."

Alma pun mengerutkan kening. "Maksud lo, gue bakal dipaksa nikah gitu?"

"Who knows?" Kiara mengedikkan bahunya, lalu mulai memoles wajah Alma dengan foundation. "Jangan sampe lo jadi cewek murahan yang gampang luluh. Ya nanti lo perhatiin baik-baik, deh, keluarga Kak Oldy perlakuin lo kayak gimana. Semoga mereka beneran oke, bukan karna ada maunya doang."

Alma jadi mengembuskan napas kasar. "Masa mereka tega, sih? Gue yakin Kak Oldy anak baik-baik, kok."

"Tegalah. Kan mereka punya kuasa dan duit. Orang kaya kebanyakan seenaknya sendiri, tau."

"Ah, lo aja terlalu negative thinking, Ra."

"Ya makanya, gue doain semoga prasangka gue ini salah. Gue juga ikut seneng kalo cinta lo berbalas."

Sekarang, Kiara tinggal memberi sentuhan terakhir di wajah Alma. Gadis berwajah manis itu pun segera meraih perona pipi warna peach sekaligus dengan liptint warna merah muda. Setelah mengaplikasikannya ke wajah Alma, dia puas sekali hasil riasannya tampak natural dan tidak berlebihan.

"Kilat banget, kan? Udah jadi, nih. Tuan puterinya Kak Oldy siap dijemput."

Alma seketika merasa malu. Dia berulang kali menebas udara menggunakan tangannya. Lalu, berterima kasih pada Kiara. Tak lama, satu notifikasi muncul di layar ponsel Alma. Oldy ternyata sudah sampai.

"Udah nyampe?"

Alma mengangguk sambil berlari ke jendela. Benar saja. Oldy di sana dengan kaos putih, jaket jins, dan celana belelnya.

"Aduh, yang kasmaran."

Alma tersenyum kesenangan. Lantas, memeluk Kiara sambil berbisik, "Wish me luck, Kiara-ku Sayang."

***

Oldy akhirnya berani parkir tepat di depan bangunan 3 lantai ini. Semula, dia memang butuh waktu untuk mempersiapkan diri bertemu Alma dan Kiara. Tak lama, kedua gadis itu keluar pagar, menemuinya dengan senyum merekah sambil bergandengan tangan.

“Hai. Aku Kiara. Temennya Alma, Kak.”

Oldy buru-buru menggapai tangan Kiara yang terarah padanya, lalu membalas, “Gue Oldy Valdio Winatra. Teknik Geodesi Semester 8.”

“Nggak perlu seformal itu kali, Kak.”

Kemudian, mereka mengadu tawa, benar-benar tawa lepas padahal hanya untuk menertawakan celetukan tak lucu. Namun, sepertinya hanya Kiara yang sadar kalau tatapan Oldy melekat ke wajah Alma—yang tadi dia rias menggunakan tangan-tangan ajaibnya.

To Be Very MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang