09. berakhir setuju

52 6 2
                                    


_______

Alma tak berhenti mengucap 'wah' dalam hati. Dia asik mengagumi rumah serupa mansion milik keluarga Winatra yang sering dibilang konglomerat ini. Nuansa putih mendominasi hampir di seluruh ruangan, sehingga jadi tampak bersih di mata. Sungguh memanjakan. Bagai impian Alma saat dulu kecil, menginjakkan kaki di sini sama dengan menginjakkan kaki di istana.

"Ternyata istana beneran ada."

"Eh? Apaan, Al? Istana?"

Alma buru-buru menggeleng, lalu tenggelam lagi dalam pikirannya. Dia memang belum mencari tahu tentang keluarga Winatra lebih lanjut. Dia hanya sebatas tahu kalau Burhan merupakan pemilik perusahaan bergengsi di industri pangan, sementara Kintan adalah dokter gigi terkemuka yang jadwal prakteknya selalu dipenuhi pasien. Kehidupan mereka bertiga di rumah ini sepertinya baik-baik saja walau dia tak tahu ada luka kehilangan peran penting seorang wanita di sini.

"Duduk sini, Al," ajak Kintan, serta-merta menarik tangan Alma agar duduk di ayunan sebelah ayunannya. "Adem. Di dalem tadi gue hadap kompor melulu."

Alma terkikik, "Tapi, keren, loh, Kak Kintan. Bisa masak sebanyak itu sendirian, mana cuma buat tamu nggak penting kayak aku."

"Eits. Kata siapa nggak penting?" sambar Kintan, kini memandangi wajah Alma yang merona. "Lo cewek pertama yang dibawa Oldy setelah setahun asmaranya krisis, tau."

Alma jadi mengerjap. "Oh, sama mantannya yang model majalah itu, ya, Kak?"

Kintan tahu Alma hanya sedang menggali informasi, maka dia dengan senang hati menjabarkan, "Iya. Lavi namanya. Adek gue seenaknya diselingkuhin. Waktu itu, gue sama Disto sampe nyamperin Lavi buat minta kejelasan. Taunya, dia udah kecintaan sama selingkuhannya. Ya udah, gue sama Disto nggak debat lagi dan milih buat nenangin Oldy aja.  Disto juga yang sedikit banyak nyembuhin Oldy karna sering ngajakin dia main. Ya mancing, ya modif mobil, ya nonton F1, ya—eh, kok gue jadi banyakan bahas Disto? Sori."

Alma menghela napas prihatin begitu mendapati wajah murung Kintan. Sudah pasti sulit melupakan sang tunangan yang beberapa hari lagi seharusnya bisa jadi suami.

"Kira-kira Disto kenapa ninggalin gue, ya, Al? Gue kurang apa?"

Alma terhenyak, tapi tetap membalas, "Nggak ada yang kurang, Kak. Kak Kintan nggak salah apa-apa. Mungkin Kak Disto punya alasan lain. Meski alasan apa pun itu nggak bisa dibenarkan karna dia udah ngilang tanpa kabar gitu aja. Aku ikutan sebel, Kak."

"Wedding dream gue jadi tinggal angan-angan, Al."

Setelah membaca suasana, Alma pun meraih tangan Kintan sambil berujar, "Semoga Kak Kintan segera nemuin pengganti Kak Disto, ya. Laki-laki yang jauh lebih baik dari dia. Aku percaya karna Kak Kintan orang baik. Jadi, orang baik pasti jodohnya juga orang baik."

Kintan tersenyum, lalu memandangi tangan Alma yang menggenggam tangannya. "Makasih, ya, Alma. Nggak tau kenapa, gue udah langsung cocok sama lo. Lo kayaknya emang ditakdirin jadi jodoh adek gue, deh. Mungkin emang bukan gue yang harusnya nikah, tapi lo berdua."

"Hm?" Alma tertegun sesaat.

"Lo belum yakin sama Oldy, ya?"

Alma diam.

"Pasti gara-gara dia ngajak nikah lo, tapi cuma buat sehari, kan?" Kintan mengesah. "Demi Tuhan, dia, tuh, kalo ngomong suka nggak dipikir dulu. Gue minta maaf mewakili dia yang asbun, ya, Al. Dia aslinya serius dan tulus sama lo, kok. Dia cerita sama gue. Dia udah tertarik sama lo. Selain karna lo unik, dia juga seneng sama kepribadian lo yang menurutnya banyak nilai plus-nya."

To Be Very MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang