11. sudah di depan mata

43 6 4
                                    

________

Sekian menit Alma masih mengagumi deretan gaun-gaun pernikahan yang begitu cantik. Beragam model, bermacam warna, dan kesemuanya tidak ada yang jelek. Dia bisa menaksir harganya yang mungkin setara dengan sewa kosnya selama lima bulan. Ini butik yang selalu dikunjungi orang-orang elit, jadi tidak mungkin kualitasnya main-main, kan?

"Alma mau yang mana?"

Dia tersadar saat Kintan mengguncang lengannya. Lalu, tergelagap. "Aduh. Aku bingung, Kak. Dipilihin aja boleh nggak?"

"Hm, atau mau coba punya gue?"

Alma berpikir sebentar sebelum sungkan mengangguk. "Boleh?"

"Ya boleh," sahut Kintan, baru beralih menuju pramuniaga yang sejak tadi senantiasa mengikuti mereka memilah gaun di etalase. "Mbak, coba dress yang udah saya fitting bisa?"

Pramuniaga tersebut sempat bingung, tapi dia mematuhi titah Kintan tanpa banyak protes. Sekian menit kemudian, dia kembali dengan membawakan gaun sleeveless sepanjang mata kaki; yang warnanya putih bersih, ada hiasan berlian di bagian dada, dan ornamen renda di bagian pinggang. Cantik. Alma bahkan menjatuhkan rahangnya sendiri saking terpukaunya.

"Wah. Pilihan Kak Kintan bagus banget."

Kintan tersenyum. "Mau dicoba?"

"Tapi, Kak Kintan nggak papa semisal aku cocok sama yang ini?"

Kintan mengesah. Lantas, dia pegangi kedua bahu Alma sambil menatap lekat-lekat sepasang mata cerah itu. "Alma, jangan mikir kayak gitu. Gue udah gagal. Lo kan nggak gagal. Ini kesempatan sekali dalam seumur hidup lo. Fokus sama kebahagiaan lo. Jangan peduliin gue. Gue bisa cari kebahagiaan gue sendiri."

Mendengar tuturan itu, hati Alma jadi mencelos sampai matanya ikut berkaca-kaca. Ketika sebulir air matanya menetes, Kintan buru-buru menghapus itu menggunakan ibu jari.

"Jangan nangis, Al. Tuh, ditungguin Oldy. Dia nggak sabar liat calon istrinya pakai wedding dress."

Alhasil, Alma mengangguk berulang kali sebelum masuk ke ruang ganti. Ada dua pramuniaga lain yang membantunya mengenakan gaun tersebut di dalam sana, sementara Kintan menunggu di luar sini bersama pramuniaga sebelumnya.

"Mbak. Saya nggak jadi nikah. Sepertinya, gaun yang barusan itu tetep kita ambil. Tapi, yang makai bukan saya."

Si pramuniaga berambut pendek itu pun tercenung sedetik. "Oh, i-iya, Mbak. Nanti biar saya ubah datanya."

"Mbak. Kayaknya, adek saya suka sama gaun itu. Mungkin nggak kita sewa, tapi kita beli. Bisa, kan? Jadi, habis acara nggak perlu dibalikin."

Kintan tak perlu mendiskusikan ini dengan siapa-siapa sebab dia rela merogoh kocek sedalam palung mariana asal pernikahan adiknya menjadi momen paling membahagiakan seumur hidup mereka.

"Bisa, Mbak. Nanti saya buatkan kwitansinya."

Kintan mengangguk, lalu melirik Oldy yang masih sibuk memilih jasnya. Karena Alma belum selesai, dia pun menghampiri ke sana.

"Udah nemu?"

Oldy menggeleng. "Warna putih apa warna item?"

"Bagusan item."

Kintan menunjuk jas di tangan kanan Oldy dari pada jas di tangan kiri Oldy. Keduanya punya corak hampir sama, tapi punya warna yang berbeda.

"Pokoknya, gue nggak sudi pakai jas yang udah di-fitting sama si Disto."

Kintan mendengkus. "Iya, iya. Ini bukan jas yang Disto pakai, kok." Entah bagaimana keadaan hatinya, dia tidak mau peduli. Sudah jelas porak-poranda seperti bangunan di antah-berantah. Namun, dia tidak mau terlarut dalam memori menyakitkan itu—bagaimanapun, ingatan mengenai hari di mana dia dan Disto fitting di tempat ini telah menyisakan luka bernanah—supaya Oldy dan Alma tidak kepikiran. "Ini aja ganteng."

To Be Very MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang