12. salah paham

47 7 3
                                    


__________

"Terus, lo nggak butuh bridesmaid?"

Alma melirik Kiara yang justru lebih bersemangat darinya. Gadis berpipi gembil itu mengunyah cokelat dengan mata berbinar, lalu duduk menyamping menghadap Alma yang makin mengeratkan pelukannya pada setumpuk buku cetak di dada. Tidak Kiara pedulikan orang-orang yang berlalu lalang melewati bangku ini  bisa menguping pembicaraan mereka, yang penting dia harus melepaskan energi positifnya sesegera mungkin.

"Jangan kenceng-kenceng. Nanti kedengeran orang-orang."

Kiara memutar bola matanya. "Emang kenapa? Kan nikah bukan aib. Lo juga nggak hamidun. Oh, kalau butuh bridesmaid, gue bisa ajak Sanny, Runa, Niara, Emma. Temen lo di sini kan nggak gue doang."

"Gue pengen ini dirahasiain malah. Cukup lo sama Kak Jordan yang tau."

"Loh, kenapa?" Kiara jadi membeliak. "Kan ini berita baik."

Alma menghela napas panjang sebelum membalas, "Ah, kayak nggak tau netijen aja lo. Gue males ladenin opini-opini ngawur orang-orang. Ntar banyak spekulasi. Ntar banyak asumsi. Gue cuma pengen bahagia tanpa harus mikirin omongan orang lain."

Akhirnya, Kiara setuju juga dengan penjelasan Alma barusan. "Ya, bener, sih. Mending gitu buat jaga kewarasan. Mending lo fokus membina rumah tangga sama Kak Oldy. Jadi istri yang baik. Ih, seru banget pasti! Gue nggak nyangka cinta lo berbalas gini, Al. Mulus, ya? Kayak jalan tol."

Alma memindah tatapan menuju taman rektorat yang terbentang di depan sana sambil menyuarakan isi pikirannya. "Justru gue sekarang takut. Rasanya, kayak nggak siap, tapi dipaksa siap. Gimana, ya? Gue juga setuju sama hal ini padahal. Plis. Pilihan gue udah tepat, kan?"

Kiara memaklumi semua kecemasan yang saat ini Alma rasakan. Toh, tidak salah juga. Belum lama menyatakan perasaan, lalu perasaan itu dibalas dengan ajakan ke jenjang pernikahan. Jenjang seserius itu. Jenjang sesakral itu. Sudah pasti Alma punya banyak pertimbangan.

"Tenang. Gue tau lo pasti bisa ngadepin ini. Gue kenal lo. Menurut gue, keputusan lo setuju dinikahin Oldy udah bener. Setelah lo nilai dia, dia emang nggak main-main, kan? Lo bukan cuma jadi pelarian. Tenang, ya? Ada gue. Kalo lo diapa-apain, panggil gue. Gue siap bawa pasukan buat gebukin dia."

Alma spontan tertawa, tapi hatinya berangsur tenang.

"Gue insecure, Ra."

"Sama siapa?"

"Lavi. Laviona."

"Dia siapa?"

Alma meringis. "Mantannya Kak Oldy."

"What the hell?" Kiara, yang update sekali mengenai dunia hiburan dalam maupun luar negeri, pasti tahu siapa sosok itu. "Dia model, kan? Yang belakangan seliweran di majalah-majalah?"

Alma tersenyum tipis, tapi tidak memberi statement apa-apa.

"Walaupun, harus diakui lo sama dia kayak langit dan bumi—aw!" Kiara mengaduh begitu Alma menghantam pelan lengannya. "Iya, maap. Maksud gue, secara fisik lo mungkin kalah, tapi kalo mau diadu secara sifat, ya menang lo ke mana-mana lah!"

Alma hanya mengangguk beberapa kali tanda memahami ucapan Kiara sampai gadis itu kembali melanjutkan, "Oh, si Lavi itu mantan Kak Oldy yang kapan hari lo ceritain di chat? Yang mereka putus gara-gara Lavi nyelingkuhin Oldy?"

"Iya. Padahal Kak Oldy kurang apaan, ya? Ganteng, iya. Kaya raya, iya. Penyayang, juga iya. Stres dia."

"Iya, iya, iya. Lo doang yang waras karna mencintai si tukang kustom stiker."

To Be Very MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang