Move(d) On

88 8 1
                                    


Atap kamarnya masih tetap sama sekalipun ia pandangi selama beberapa menit terakhir. Begitupun juga hatinya. Selama apapun Jio mencoba untuk bersedih, ia tidak pernah bisa dan malah berakhir dengan makian pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dirinya tidak merasa sedih sedikitpun setelah mengakhiri hubungan dengan mantan kekasihnya? Bukankah itu hal yang aneh?

Ahh.. tidak tidak! Jio menggeleng pelan.

Keputusannya sudah sangat benar. Ia memutuskan kekasihnya karena memang hubungan mereka sudah tidak baik. Dan Jio tidak sedih karena keputusannya untuk mengakhiri hubungan itu sudah sangat benar.

Tiba-tiba saja rungunya menangkap bunyi tak jauh dari tempatnya tidur. Ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Melihat panggilan dengan nama Jevan Abimana tertera di layarnya. Pun ia langsung menjawab panggilan itu.

"Kenapa?" tanyanya tanpa basa-basi. Tumben sekali lelaki itu menelpon pada sore hari seperti ini. Biasanya jika ada perlu, Jevan lebih memilih untuk menelponnya di penghujung malam.

"Lo lagi di apartemen nggak?"

"Kenapa?" pertanyaan itu sekali lagi terucap dari bibir Jio. Merasa aneh dengan satu pertanyaan itu, ia akhirnya kembali bersuara, "eumm.. iya lagi di apartemen, emangnya kenapa sih? Lo mau ngajakin gue cari makan?"

Terdengar decakan dari ujung telepon yang membuat Jio tidak bisa menahan senyumnya lagi, "Pikiran lo emang nggak jauh dari makan sih. Gue udah di depan. Cepat bukain pintunya."

Sepersekon setelah mendengar perintah dari Jevan, gadis cantik itu terduduk. Merapikan rambutnya yang berantakan, lalu bergegas menuju pintu depan.

Jevan tidak bohong.

Ia berada tepat di depannya saat pintu terbuka. Wajahnya begitu masam dengan kerutan di keningnya. Namun lelaki itu masih saja menyempatkan diri untuk menyentil dahi Jio.

"Yaaakk!! Sakit, anjir!" niat hati ingin melakukan pertengkaran ringan dengan Jevan seperti biasa, malah berakhir dengan ia yang diacuhkan. Jevan melepas sepatunya dan masuk kedalam apartemen milik gadis Park.

Jio tidak bodoh. Ia jelas tahu jika ada sesuatu yang terjadi pada Jevan. Lelaki itu tidak akan datang begitu saja tanpa memberitahu terlebih dahulu. Pun saat ia putus dengan Lisa, lelaki itu lebih memilih untuk mencurahkan perasaannya lewat telepon. Keadaannya sekarang jelas lebih rumit dari itu.

Seharusnya hari ini menjadi hari tenang bagi Jio karena ia ingin melamun selama seharian. Namun rencana itu digagalkan dengan kehadiran Jevan dan ia masih punya hati ketika melihat temannya itu datang dengan wajah layaknya orang kebingungan.

Jio meletakkan dua kaleng soda diatas meja. Ia lalu mengambil duduk tepat di samping Jevan dan menyalakan televisi dengan volume rendah. Setidaknya, ia butuh televisi agar tidak canggung berdua saja dengan lelaki itu. "Heh? Lo kenapa? Ada sesuatu kah?"

Netranya mengikuti gerakan tangan Jevan yang mengambil kaleng soda, dan meminum setelah membukanya. "Gue lagi bingung, Ji," terdengar helaan nafas berat setelah Jevan mengatakannya. Lelaki itu meletakkan kaleng soda di atas meja, lantas menyandarkan punggungnya dan membiarkan kepalanya menengadah memandang atap apartemen Jio.

"Emang ada apa sih? Gue kan nggak tahu sebelum lo ngasih tahu gue, Jev!"

Sofa yang mereka tempati bergerak pelan akibat dari tubuh Jevan yang bergetar karena tertawa. Jio memandangnya kesal. Tangannya lantas teracung membentuk kepalan tinju dan menubrukkannya pada lengan lelaki disampingnya. Bagi Jio, Jevan selalu saja menyebalkan.

"Gue cuma lagi bingung, nggak tahu harus ngapain." Kali ini lelaki itu berbicara dengan serius. Jio menyilangkan kakinya diatas sofa dan sedikit memiringkan badannya untuk mendengarkan Jevan dengan seksama. "Lisa minta gue buat ngejauh, padahal baru kemarin dia bilang kangen gue. Ngebingungin banget nggak sih? Anjing lah!" Jevan menoleh meminta persetujuan Jio yang ternyata sedari tadi menatapnya.

Jio berpikir sejenak agar Jevan dapat memahami apa yang akan disampaikannya, "Jadi gini, Jev. Kalau menurut gue, Lisa cuma lagi kalut saja. Dia yang minta putus. Jelas saja dia bisa kayak–"

"Lo juga yang minta putus dari Malik, kan? Tapiㅡ"

"Dengerin dulu!" Jevan tertawa melihat Jio cemberut karena ia telah memotong pembicaraan gadis itu. "Gue rasa kalian udah serius banget. Kalian berdua maksudnya, sementara gue kan selalu ragu kalau tentang Malik. Lisa mungkin udah berekspektasi tinggi sama lo. Tapi kenyataannya dia nggak bisa lanjut dan gue rasa juga kalau dia ngerasa bersalah sekaligus menyesal sih."

Lebih dari itu, Jio tahu jika Lisa sudah jatuh terlalu dalam terhadap Jevan. Ia juga tahu alasan terbesar Lisa memilih untuk menyudahi hubungannya dengan Jevan. Tapi melihat baik Lisa ataupun Jevan yang diselimuti kekalutan atas itu, ia jadi tidak tega sendiri. Rasanya ia ingin mengungkapkan jika masih berat meninggalkan, tidak ada salahnya untuk balikan. Tapi Lisa tetaplah Lisa dengan kepala batunya yang susah untuk diluluhkan.

"Ah.. nggak tahu, Ji. Gue bingung!" Jio hanya diam. Tidak tahu harus menanggapi seperti apa lagi.

"Ji.."

Jio menatap Jevan dengan alis yang naik, "Hmm?"

"Lo nggak pakai bra, ya?"

Mata Jio membuka lebar saat ia sadar kebiasaannya yang tidak memakai bra setelah mandi di sore hari. Dan ia sangat malu karena lupa akan hal itu.

Sudahlah, Ji. Mati aja lo habis ini!



______________



Sebelumnya aku mau kasih peringatan buat yang baca ya, aku ga ngelarang kalian buat baca tulisan aku. Malah aku suka banget, tapi kalau misal kalian masih belum legal untuk membaca tulisan dewasa, mending kalian urungkan aja, okay.. karena nantinya tulisan ini akan ada beberapa bab yang mengandung adegan dewasa. Yang sudah baca, thank you yaa! Selamat membaca!

Love FoolishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang