❝〔 𝗇𝗂𝗇𝖾 〕❞

94 21 22
                                    

Lantas, di hari berikutnya, Likana menyeringai sok misterius usai paksa Biruna turut membawa raut wajah tertekuk masam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lantas, di hari berikutnya, Likana menyeringai sok misterius usai paksa Biruna turut membawa raut wajah tertekuk masam. “Hari ini, aku lagi susun skema terencana, hahaha .... ” Tertawa berbahak (sampai terbatuk) layak tokoh antagonis yang baru saja menemukan ide brilian untuk melawan si protagonis.

Kian buat Biruna tak kepalang pasang mimik mencemooh bersama mata mengerling hiperbola. Hei! Tentu saja, siapa yang tidak kesal tiba-tiba diminta datang ke sebuah caffe di waktu yang seharusnya Biruna gunakan untuk beristirahat. Karena perlu diketahui, hari minggu haram hukumnya di ganggu. Bodohnya lagi, Biruna tetap melakukan hal yang jelas-jelas otak tolak keras. Datang ke tempat ini.

Camkan, dengan nalar sadar!!

“Aku enggak punya banyak waktu, jadi apa masalahnya?” Alasan lain, dari sambungan telepon Likana bilang kalau dia sedang mengalami hal berat dan tidak bisa dia putuskan dengan mudah. Maka, Likana memanggil Biruna untuk meminta pendapat sekaligus saran, siapa tahu bisa mendapat pencerahan—begitu katanya. Semakin menjadi kolerasi masuk akal ketika grup alumni sejak pagi tadi ramai dan dipenuhi dengan serbuan ucapan selamat, Biruni, mantan pacar Likana bulan depan akan menikah dengan Jeffri, yang tak lain adalah mantan Biruna.

Lucu sekali bukan?

Seperti serial komedi. Hidup kadang-kadang, kadang 𝘬𝘪𝘥𝘥𝘪𝘯𝘨.

“Menurutmu, di antara americano sama tiramisu lebih enak yang mana?” Sambil menunjuk menu dengan wajah polos, tanpa dosa.

Sedang, Biruna mengerang, usap kasar wajah dengan mata terpejam erat. Jadi, ini yang laki-laki itu katakan hal serius? Mendesak katanya? Omong kosong, bacot Likana bisa-bisanya dia percaya tanpa curiga.

Di sisi lain, bersyukur nampaknya Likana tidak seterpuruk itu mengetahui Biruni akan menikah. Dia baik-baik saja.

Tuk! Sekarang, lembar menu dengan jumlah lima halaman tetapi tebal itu berhasil meninggalkan bekas kemerahan di dahi Likana. Tak kepalang, dua hantaman berikutnya menyambut buat si korban melotot dengan bahu naik turun, nyaris cegukan. Mirip adegan ikonik pertengkaran antara pemeran utama perempuan dan kakak laki-lakinya dalam sebuah drama china terkenal yang pernah Biruna tonton minggu lalu. Benaran persis, apalagi segala yang berhubungan dengan Likana memang minta sekali dihujat, meski ditindas lebih bagus.

“Kamu enggak bisa makan kopi, brengsek!” Benar adanya, jikalau Likana tidak bisa mengonsumsi segala sesuatu yang mengandung kafein. Atau, alergi yang dia derita akan merenggut napas sampai tuntas. Alias menyerahkan nyawa secara suka rela. Memang, separah itu intolerannya.

Teringat, peristiwa sepuluh tahun lalu, (ketika tak tahu-menahu tentang alergi yang Likana derita) Biruna memberi—lebih tepat memaksa pemuda pemuda itu mencicipi sepotong tiramisu yang khusus dia buat untuk Jeffri. Meski agak kurang ajar, alasan utama Biruna sangsi dengan kue buatannya sendiri. Takut membikin Jeffri keracunan.

retorika, tanpa kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang